Dr. Rizal Ramli yang akrab dipanggil RR, mantan aktivis mahasiswa ITB yang populer dengan Gerakan Anti Kebodohan (GAK) 77-78 terus berkomitmen mengingatkan pemerintah agar tidak tergantung pada model pembangunan ekonomi neoliberal ala Bank Dunia yang hanya membuat sulit negara dan ekonomi rakyat.
Selain itu, RR juga mendesak pemerintah untuk jujur mengenai utang negara agar jangan hanya mengumumkan bunga utang yang hanya Rp. 247 Trilliun saja, tetapi tidak mengumumkan cicilan pokoknya, padahal tahun depan (2018) anggaran APBN disedot untuk bayar utang sebesar 640 triliun.
RR menyoroti komposisi alokasi anggaran yang faktanya pos pembayaran utang menjadi prioritas utama pemerintah,
"Prioritas kita nomor satu adalah bayar utang. Yang kedua pendidikan, 20 persen dari anggaran negara, yang ketiga baru infrastruktur,". (orasi RR saat memberikan kuliah umum di acara pelantikan mahasiswa baru tahun akademik 2017/ 2018 program sarjana dan pasca sarjana magister Ilmu Hukum di Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta, Sabtu (9/9).
Sebelumnya, RR juga sudah berkali-kali memberikan kiat dan cara-cara jitu bagaimana mengelola utang negara dan pengelolaan pembangunan ekonomi untuk mempercepat kemajuan ekonomi negara kepada tim ekonomi pemerintah, Darmin Nasution dan Sri Mulyani, seperti contohnya kiat soal Revaluasi Asset, memompa perekonomian lewat skema BOT dan BOO, sekuritisasi asset, kebijakan sistem tarif untuk impor, dan kebijakan-kebijakan terobosan lainnya, tetapi sayangnya selama itu pula tim ekonomi pemerintah terus membandel dan justru terlena dengan cara-cara neoliberal ala Bank Dunia yang faktanya tidak banyak membuat perekonomian Indonesia maju dan bangkit.
negara-negara di Asia seperti China, Jepang, Singapura dan lain-lain ekonominya lebih maju dari Indonesia karena sejatinya kebijakan-kebijakan ekonomi negara tersebut tidak mau memakai model ekonomi ala Bank Dunia. Negara-negara itu lebih memilih kebijakan ekonomi yang "nasionalistik", sehingga pertumbuhan ekonominya selama hampir 15-20 tahun selalu tumbuh diatas 10%. Contohnya Jepang, selama 15 tahun pertumbuhan ekonomi kisaran 12%. Sementara, Tiongkok selama 20 tahun, perekonomiannya tumbuh di antara 13-14%.
Di Asia yang ikut model pembangunan Bank Dunia itu hanya Indonesia dan Filipina, maka tidaklah aneh banyak negara di Asia dan bekas Rusia ekonominya hanya tumbuh 6-8 persen. ekonomi konstitusi dianggap kuno, ekonomi nasionalistik dianggap ketinggalan zaman, ujung-ujungnya ekonomi kita susah bangkit, ekonomi hanya merangkak tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya karena berkutat hanya tumbuh 5-6%.
Sudah saatnya pemerintahan Joko Widodo yang sejak awal bercita-cita mewujudkan Tri Sakti melalui agenda Nawacita dan Revolusi Mental, merubah haluan ekonominya yang sesuai konstitusi, yang bersifat nasionalistik sebagaimana saran mantan menko perekonomian era Gus Dur tersebut.
Apalagi Presiden Joko Widodo pernah berpandangan bahwa "persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh World Bank, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang," (22/4/2015). Pendirian presiden Joko Widodo tersebut saat inilah waktu yang tepat mewujudkannya dengan kembali ke haluan ekonomi konstitusi yang bersifat Nasionalistik. Ekonomi negara maju dan rakyat sejahtera
Salam Tri Sakti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H