Lihat ke Halaman Asli

Mengukir Citra di Dunia Digital: Strategi Politik yang Penuh Gimmick Tapi Menarik

Diperbarui: 26 Desember 2024   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENDAHULUAN

         Revolusi teknologi digital telah menghadirkan transformasi mendasar dalam beragam sendi kehidupan sosial, tak terkecuali ranah perpolitikan. Di Indonesia, kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi membuka peluang bagi para politisi dan organisasi politik untuk memperluas jangkauan komunikasi mereka kepada publik melalui berbagai platform jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok. Jejaring sosial kini menjelma menjadi instrumen strategis dalam komunikasi politik, menggeser dominasi media konvensional seperti televisi, radio, dan media cetak. Fenomena ini memunculkan paradigma baru dalam pembentukan citra politik, dimana representasi diri di ruang virtual memberikan dampak yang krusial terhadap persepsi masyarakat dan tingkat elektabilitas.

         Pembentukan citra politik di jejaring sosial tidak sekadar berfungsi sebagai wahana membangun popularitas, namun juga sebagai jembatan untuk menjalin kedekatan dengan konstituennya. Meski demikian, pemanfaatan jejaring sosial untuk pembentukan citra ini turut memantik diskursus terkait implikasinya terhadap iklim demokrasi, termasuk apakah hal ini mendorong partisipasi politik warga atau justru memperparah polarisasi. Dalam tulisan ini, akan ditelaah strategi-strategi pembentukan citra politik yang diterapkan di jejaring sosial, dampak sosialnya, serta kajian kasus pembentukan citra politik spesifik di Indonesia.

PEMBAHASAN

  • Teknik Pencitraan Politik di Media Sosial

1. Personal Branding melalui Konten Visual

          Platform media sosial menjadi wadah bagi para politisi dalam membangun citra pribadi mereka melalui ragam konten visual berupa foto, video, dan infografis. Sebagai contoh, konten yang memperlihatkan rutinitas keseharian seperti berinteraksi di pasar tradisional, mengikuti acara kemasyarakatan, atau melakukan aktivitas olahraga, berhasil membangun persepsi bahwa mereka merupakan sosok yang bersahaja dan membaur dengan masyarakat. Pendekatan semacam ini kerap dipraktikkan oleh sejumlah tokoh politik, salah satunya Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dikenal dengan gaya komunikasi yang lepas dan mencerminkan kedekatan dengan rakyat.

2. Storytelling di Media Sosial

          Dalam membangun koneksi dengan masyarakat, para tokoh politik kerap membagikan kisah perjalanan hidup mereka melalui teknik narasi yang menyentuh sisi emosional. Mereka menghadirkan cerita personal, pandangan masa depan, atau kisah perjuangan yang berkaitan dengan permasalahan publik. Sebagai contoh, mereka sering membagikan pengalamannya memberantas praktik korupsi atau memajukan pembangunan di wilayah pelosok untuk menghadirkan citra diri sebagai sosok pemimpin yang memiliki kepedulian dan gagasan besar.

3. Penggunaan Influencer dan Endorser

         Menjalin kerjasama dengan para tokoh berpengaruh dan publik figur di platform sosial media terbukti menjadi strategi yang berdaya guna. Para influencer dengan basis pengikut setianya mampu membentuk cara pandang khalayak terhadap sosok politisi. Demikian pula, dukungan yang mengalir dari para tokoh komunitas atau selebritas berkontribusi dalam menguatkan reputasi serta meningkatkan kepopuleran politisi tersebut.

4. Pemanfaatan Hashtag dan Viral Marketing

         Tagar semacam #JokowiKerjaNyata atau #PrabowoUntukIndonesia menjadi medium untuk menyebarluaskan gagasan dan program unggulan. Pendekatan ini membuka peluang bagi konten-konten politik untuk menjangkau khalayak lebih luas sekaligus mendorong diskusi publik dalam ranah digital.

5. Iklan Berbayar dan Targeting Algoritma

         Layanan periklanan berbayar yang disediakan media sosial seperti Facebook dan Instagram memungkinkan penyaluran konten berdasarkan segmentasi demografis, preferensi, dan wilayah target audiens. Hal ini menciptakan peluang strategis bagi para politisi dalam menjangkau calon pemilih potensial dengan cara yang lebih tepat sasaran dan hemat sumber daya.

  • Analisis Aspek-aspek Utama Komunikasi Politik di Indonesia

a. Peran Media Tradisional dan Digital

         Kanal media konvensional seperti televisi, radio, dan media cetak masih memegang peranan vital dalam komunikasi politik nasional, khususnya di kawasan rural yang memiliki keterbatasan akses internet. Para politisi memanfaatkan saluran ini untuk menyasar audiens senior atau kelompok masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi digital. Strategi kampanye di media tradisional umumnya mengedepankan penyampaian pesan yang lugas dan mudah dicerna.

         Di sisi lain, platform digital kini menjadi pondasi utama komunikasi politik, terutama di kalangan milenial dan masyarakat perkotaan. Media sosial membuka ruang bagi politisi untuk terhubung secara langsung dengan konstituennya tanpa dibatasi ruang dan waktu. Hal ini memungkinkan mereka untuk tangkas merespons isu aktual, membangun narasi yang kontekstual, dan mengelola agenda politik secara dinamis. Sebagai contoh, fitur siaran langsung di Instagram dan YouTube telah memfasilitasi dialog interaktif antara politisi dengan para pemilihnya.

         Perpaduan antara media konvensional dan digital tercermin dalam pendekatan kampanye politik masa kini. Misalnya, materi yang semula dirancang untuk platform sosial media kerap diadaptasi menjadi iklan televisi atau media cetak guna memperluas jangkauan audiens. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kedua jenis media tersebut berperan komplementer dalam pembentukan citra politik.

         Media konvensional tetap dipandang sebagai rujukan informasi yang lebih terpercaya oleh sebagian masyarakat, khususnya generasi senior atau penduduk pedesaan. Sementara itu, platform digital menawarkan keunggulan dalam aspek interaktivitas dan kecepatan, memungkinkan politisi untuk segera menanggapi kritik atau isu negatif. Dengan demikian, para politisi yang mampu mengoptimalkan kedua jenis media ini secara cermat cenderung memiliki nilai lebih dalam membangun pencitraan mereka.


b. Polarisasi Politik

         Pemanfaatan media sosial dalam komunikasi politik di tanah air telah memunculkan konsekuensi berupa menguatnya perpecahan ideologis. Sistem algoritma platform sosial cenderung menguatkan prasangka dengan menghadirkan konten yang selaras dengan kecenderungan penggunanya. Dampaknya, masyarakat lebih sering bersinggungan dengan pandangan yang mendukung keyakinan pribadi mereka, sementara perspektif berbeda kerap terabaikan atau bahkan dipandang sebagai gangguan.

         Kontestasi politik antara pendukung Jokowi dan Prabowo pada Pemilu 2019 mencerminkan fenomena polarisasi yang kian menguat akibat pengaruh media sosial. Perbincangan politik di Twitter dan Facebook kerap berujung pada pertentangan tidak produktif, di mana masing-masing kubu saling melontarkan serangan verbal. Perpecahan ini tidak hanya menggerus kohesi sosial namun juga menghambat terciptanya dialog yang membangun bagi perkembangan demokrasi.

         Polarisasi politik turut berdampak pada relasi sosial dalam lingkup keluarga dan komunitas. Sejumlah individu mengungkapkan bahwa hubungan pertemanan atau kekeluargaan mereka mengalami ketegangan akibat perbedaan pandangan politik yang dipertegas oleh media sosial. Ini menunjukkan bagaimana dampak polarisasi menembus batas dunia maya dan mempengaruhi realitas sosial masyarakat.

         Menguatnya polarisasi juga mendorong terbentuknya kelompok-kelompok sosial yang terkotak-kotak secara politis. Kelompok-kelompok ini cenderung membangun wacana yang bersifat eksklusif dan meminggirkan pihak yang berbeda pandangan. Situasi ini menciptakan hambatan dalam upaya membangun kesepakatan nasional dan pengambilan kebijakan yang mengakomodasi berbagai kepentingan dalam politik.


c. Dampak terhadap Masyarakat

         Pengaruh komunikasi politik pada era digital terhadap dinamika sosial memiliki beragam wujud, dari meningkatnya keterlibatan publik dalam politik hingga menyebarnya informasi yang tidak akurat. Platform sosial media telah membuka kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam diskursus politik, baik melalui pengajuan pertanyaan, pemberian saran, maupun penyampaian kritik langsung kepada para politisi.

         Di sisi berbeda, persebaran berita bohong dan informasi yang menyesatkan menjadi problematika serius. Banyak warga yang mengalami kesulitan dalam memilah informasi yang sahih dan yang tidak. Dampaknya, tingkat kepercayaan pada institusi politik kian terkikis. Penyebaran informasi palsu ini kerap dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk membangun atau merusak reputasi tokoh politik tertentu, yang pada akhirnya berdampak negatif pada sistem demokrasi.

         Penggunaan media sosial dalam pembentukan citra politik turut menggeser harapan publik terhadap para pemimpinnya. Masyarakat cenderung mengevaluasi kinerja politisi berdasarkan tampilan mereka di media sosial ketimbang implementasi kebijakan atau capaian nyata. Kondisi ini menciptakan tuntutan bagi politisi untuk konsisten hadir di media sosial, terkadang dengan mengorbankan waktu yang seharusnya digunakan untuk merumuskan dan mengeksekusi kebijakan publik.

         Platform sosial media juga telah memberikan ruang bagi masyarakat untuk berkontribusi sebagai penghasil konten politik. Hal ini mendorong lahirnya perspektif-perspektif baru yang lebih inklusif. Namun, tanpa pemahaman digital yang memadai, kesempatan ini sering disalahgunakan untuk menyebarkan provokasi atau informasi yang tidak valid. Karenanya, pemahaman literasi digital menjadi prioritas untuk meningkatkan mutu komunikasi politik di Indonesia.


  • Studi Kasus: Pencitraan Jokowi di Media Sosial

         Keberhasilan strategi komunikasi politik di Indonesia dapat dilihat dari pendekatan yang diterapkan Presiden Joko Widodo. Beliau memanfaatkan platform digital sebagai instrumen utama dalam membangun persona kepemimpinan yang dekat dengan rakyat, sederhana, dan berorientasi pada kemajuan. Penggunaan konten visual seperti dokumentasi kunjungan lapangan dan interaksi di pasar tradisional menjadi identitas komunikasi yang mencerminkan kesahajaan dan kedekatannya dengan masyarakat. Dalam konteks ini, teknik penyampaian cerita kerap digunakan untuk menghadirkan narasi tentang perjalanan hidup, visi pembangunan, dan komitmen pada kemajuan bangsa. Pendekatan ini menjadikan Jokowi tidak sekadar sebagai pemimpin, tetapi juga sosok yang terjangkau oleh publik, sehingga menjadikannya tokoh politik dengan tingkat penerimaan yang signifikan di era digital.

         Jokowi dikenal sebagai pemimpin yang aktif di berbagai platform digital, dengan basis pengikut yang besar di Instagram, Twitter, dan YouTube. Unggahan-unggahannya kerap menampilkan momen interaksi dengan rakyat, mulai dari kunjungan ke pasar hingga dialog dengan para petani.

         Media sosial juga menjadi sarana bagi Jokowi dalam menyampaikan gagasan politik secara langsung, seperti program infrastruktur atau kebijakan ekonomi. Namun, strategi ini tak luput dari sorotan karena dinilai lebih mengedepankan tampilan visual dibanding esensi kebijakan. Para pengkritik berpandangan bahwa konten kunjungan proyek infrastruktur seringkali minim penjelasan mendalam tentang manfaat atau dampaknya bagi masyarakat. Hal ini memunculkan persepsi bahwa aspek visual lebih diprioritaskan, sementara isu fundamental seperti disparitas sosial atau persoalan lingkungan kurang mendapat perhatian.

         Dalam kontestasi Pemilu 2019, tim Jokowi mengoptimalkan penggunaan media sosial melalui konten kreatif berupa video singkat, meme, dan infografis. Strategi ini berkontribusi pada kemenangannya dengan dukungan yang meluas dari masyarakat.

         Pemanfaatan media sosial juga memungkinkan Jokowi untuk memberikan tanggapan cepat atas isu publik. Ketika muncul kritik terhadap kebijakan pemerintah, beliau kerap memberikan klarifikasi atau penjelasan langsung melalui media sosial. Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan citra positif, tetapi juga memperkuat aspek keterbukaan dan pertanggungjawaban pemerintahannya.

         Meski demikian, strategi pencitraan ini tak lepas dari kritik. Beberapa kalangan menilai bahwa fokus pada pencitraan kerap mengabaikan persoalan mendasar, seperti isu lingkungan atau kesenjangan sosial. Selain itu, fenomena polarisasi politik selama masa kampanye menunjukkan sisi negatif penggunaan media sosial dalam ranah politik. Konten yang viral tidak selalu mencerminkan fakta, melainkan lebih sering mengikuti preferensi algoritma platform.

         Jokowi kerap menghadapi tantangan untuk mempertahankan keselarasan antara pembentukan citra dan implementasi kebijakan. Masyarakat semakin kritis dalam mengamati kesesuaian antara persona yang ditampilkan di media digital dengan capaian konkret di lapangan. Karena itu, strategi pencitraan yang berkelanjutan memerlukan langkah nyata dalam mewujudkan harapan publik melalui kebijakan yang berdampak dan mengakomodasi berbagai kepentingan.

         Dalam kontestasi Pemilu 2014 dan 2019, platform digital menjadi fondasi utama kampanye Jokowi. Pada Pemilu 2014, beliau menerapkan pendekatan "blusukan digital" dengan mendokumentasikan kunjungan ke pasar rakyat, wilayah terpencil, dan sentra aktivitas masyarakat. Dokumentasi visual ini disebarkan melalui YouTube, Instagram, dan Facebook, menghadirkan kesan pemimpin yang dekat dengan rakyat. Teknik penuturan cerita yang menggambarkan Jokowi sebagai "pemimpin wong cilik" berhasil meraih dukungan luas, khususnya dari kalangan pemilih muda urban.

         Kampanye digitalnya diperkaya dengan konten inovatif seperti meme, infografis, dan video singkat yang menampilkan keberhasilan pembangunan infrastruktur. Tagar seperti #JokowiKerjaNyata kerap menjadi topik hangat di media sosial, membangun persepsi positif tentang dedikasi dan kapabilitasnya sebagai pemimpin.

         Pada Pemilu 2019, strategi digital Jokowi semakin terorganisir. Tim khusus dibentuk untuk mengelola akun resminya, menghasilkan konten yang menarik secara visual, dan mengoptimalkan iklan berbayar untuk menyasar audiens spesifik berdasarkan demografi dan wilayah. Pendekatan ini membantu memperluas jangkauan ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk kawasan rural yang sebelumnya sulit dijangkau.

         Aspek penting lainnya dalam pencitraan Jokowi adalah kehadiran keluarganya di ruang digital. Beliau kerap membagikan momen kebersamaan dengan keluarga, mulai dari perayaan ulang tahun, jamuan makan, hingga aktivitas santai. Hal ini membangun citra sosok ayah yang bersahaja, hangat, dan penuh perhatian—nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Indonesia.

         Putra-putra Jokowi, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, turut aktif di media sosial, secara tidak langsung memperkuat gambaran keluarga Jokowi sebagai keluarga modern yang harmonis. Mereka kerap terlibat dalam obrolan ringan atau humor di media sosial, menciptakan kedekatan dengan publik. Kesederhanaan gaya hidup keluarga Jokowi, tercermin dari pilihan busana kasual dan penggunaan produk dalam negeri, semakin mempertegas citra tersebut.

         Konten-konten tersebut membentuk persepsi bahwa Jokowi tidak sekadar pemimpin negara, namun juga figur teladan dalam kehidupan personal. Pendekatan ini berhasil menyentuh aspek emosional publik dan menguatkan ikatan dengan para pendukungnya.

         Meski strategi komunikasi politik Jokowi di media sosial dipandang efektif, berbagai kritik turut mengemuka. Sejumlah pihak berpendapat bahwa pencitraan ini terlalu mengedepankan elemen visual dan simbolis dibanding esensi kebijakan. Misalnya, pihak oposisi kerap mempertanyakan sejauh mana proyek infrastruktur yang ditonjolkan dalam kampanye benar-benar memberikan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat.

         Fenomena polarisasi politik selama masa kampanye juga menjadi sorotan penting. Kubu pendukung dan penentang Jokowi sering terlibat konfrontasi di media sosial, yang tak jarang berujung pada narasi kebencian atau penyebaran informasi palsu. Hal ini menunjukkan bahwa meski media sosial menjadi wadah pembentukan citra positif, platform ini juga berpotensi memperparah perpecahan dalam masyarakat.

         Terlepas dari itu, strategi pencitraan Jokowi di ranah digital telah menghadirkan parameter baru dalam komunikasi politik nasional. Pendekatan ini tidak hanya mengubah pola interaksi masyarakat dengan pemimpinnya, tetapi juga mendorong para politisi untuk lebih terbuka dan tanggap terhadap aspirasi rakyat.


KESIMPULAN

         Pembentukan citra politik pada era digital telah mentransformasi metode interaksi antara tokoh politik dan masyarakat. Platform sosial media membuka ruang untuk menjalin kedekatan dengan publik dan mendorong keterlibatan politik yang lebih aktif. Namun di sisi berbeda, pemanfaatan media sosial untuk kepentingan pencitraan berpotensi menajamkan perpecahan politik, menyebarluaskan informasi tidak valid, dan menurunkan mutu diskusi politik.

         Perkembangan komunikasi politik di tanah air ke depan bergantung pada bagaimana politisi, organisasi politik, dan masyarakat memanfaatkan media sosial secara bijak. Keterbukaan, pemahaman digital, dan kerangka regulasi yang tepat menjadi kunci untuk memastikan media sosial berperan sebagai instrumen penguat demokrasi, bukan sebaliknya. Dengan demikian, strategi pencitraan politik di era digital dapat mendorong terciptanya iklim politik yang inklusif dan memperpendek jarak antara pemimpin dengan rakyatnya.

Ditulis oleh Aji Raditya Daniswara, prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline