Sebagai 'tandem' Jokowi dalam mengurus pemerintahan, sosok Ahok sudah tidak diragukan lagi kapasitasnya. Meskipun mendapat penolakan dari kelompok yang menamakan diri, Mujahid 212, sebagai sebuah aspirasi sah-sah saja, tapi secara kewenangan jelas tidak punya wewenang dan tidak mempunyai kekuatan secara hukum, untuk menolak Ahok.
Kerja sama antara Jokowi dan Ahok sudah terbukti, baik sejak Jokowi menjadi Gubernur DKI, dan Ahok menjadi wakilnya, maupun saat Jokowi menjadi Presiden pada Periode pertama, dimana Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta. Di mana Ahok sangat bisa diandalkan Jokowi, dan mampu merealisasikan apa yang diinginkan Jokowi.
Memang, yang menjadi calon pemimpin Ibu Kota Baru, sudah diumumkan Jokowi ada empat orang, yakni, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), Bambang Brojonegoro, Tumiyono, dan Abdullah Azwar Anas. Namun peluang Ahok untuk menduduki jabatan Kepala Badan Otorita IKN sangatlah besar, dibandingkan ketiga calon lainnya.
Secara politis, Ibu Kota Negara (IKN) memang tidak dipimpin oleh seorang Gubernur sebagai Kepala Daerah, tapi dipimpin oleh Kepala Badan Otorita dengan jabatan setingkat menteri. Dan mekanisme pemilihan Kepala Badan Otorita IKN, langsung dipilih oleh Presiden.
Jadi soal pemilihan Kepala Badan Otorita sepenuhnya merupakan otoritas Presiden, tidak bisa di intervensi pihak mana pun, namun semua aspirasi terkait pemilihannya tetap bisa ditampung oleh Presiden, untuk sebagai bahan masukan dan pertimbangan, namun tidak satu orangpun bisa memaksakan kehendaknya atas otoritas tersebut.
Kalau Mujahid 212 mempersoalkan rekam jejak Ahok dimasa lalu, ada persoalan hukum yang dilanggar, biarlah itu menjadi wewenang aparatur penegak hukum untuk menindaklanjutinya, tapi selama tidak ada hal yang menghalangi Ahok secara konstitusional, untuk dipilih sebagai Kepala Badan Otorita IKN, harusnya Mujahid 212 juga menghargai hak konstitusional Ahok.
Penyelenggaraan negara ini semua mengacu pada konstitusi, selama tidak ada halangan secara konstitusional, siapa pun warga negara Indonesia, bisa diangkat sebagai pejabat, apalagi pengangkatannya sesuai dengan hak prerogatif Presiden.
Sebagai sebuah Ormas, Mujahid 212 berhak untuk menyatakan pendapat, dan aspirasinya bisa didengar bisa juga tidak. Semua tergantung pada aturan hukum yang berlaku. Namun memaksakan kehendak, dengan melawan konstitusi, itu merupakan tindakan yang inskonstitusional.
Kalau semua yang disampaikan ormas harus didengar pemerintah, bisa-bisa penyelenggaraan negara akan terganggu. Setiap apapun yang dilakukan pemerintah, harus mendengar apa yang diinginkan Ormas. Sementara penyelenggaraan negara bukanlah semata demi kepentingan Ormas, tapi demi kepentingan masyarakat Indonesia.
Sebagai fungsi kontrol, keberadaan ormas memang diharapkan bisa memberikan masukan yang konstruktif, namun tidak berarti bisa memaksakan kehendak atas dasar power yang dimiliki. Ormas harus mampu mensinergikan kekuatannya dengan pemerintah, untuk berkontribusi secara positif, bukan malah mengacaukan jalannya pemerintahan.