Tidak mudah berada pada posisi Jokowi. Terlalu banyak persoalan yang dihadapi, baik diinternal koalisi Partai pendukung Pemerintah, maupun persoalan dieksternal Pemerintah.
Jokowi harus bisa bertindak seperti "menarik benang didalam tepung, benang ditarik, tepung tidak tumpah". Harus penuh kehati-hatian dalam menyikapi semua persoalan.
Ancaman dari dalam
Penentuan posisi mentri di kabinet adalah Salah satu ancaman dari dalam yang akan dihadapi Jokowi sebagai Presiden, yang meskipun memiliki hak Prerogatif untuk menentukan siapa saja yang layak mengisi kursi Menteri.
Megawati sebagai Ketua Umum Partai PDI Perjuangan, sudah mewanti-wanti tidak bisa terima kalau cuma dikasih 4 kursi Menteri. Itu baru ancaman dari satu Partai.
Belum lagi dari partai-partai lainnya, yang merasa berjasa memberikan dukungan secara all out saat Pilpres. Secara lisan boleh saja mereka mengatakan mendukung tanpa pamrih, dan menerima apa pun keputusan Jokowi.
Tapi secara politis tetap saja akan melakukan manuver yang akan mengancam soliditas dukungannya. Ini hal yang tidak bisa dihindari, apa lagi masuknya Partai Gerindra kedalam Kabinet, jelas akan menimbulkan kecemburuan politik partai Koalisi pendukung pemerintah, yang kepentingannya tidak terakomodir dalam Kabinet.
Riak-riak politik diinternal koalisi partai pendukung pemerintah sudah terlihat sejak adanya Pertemuan Megawati dan Prabowo. Dan itu terlihat dari reaksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang digawangi Surya Paloh.
Sehingga terkesan munculnya dua kubu politik diinternal koalisi partai pendukung pemerintah. Satu kubu Tengku Umar, yang merupakan kubu Megawati dan Prabowo, dan yang satunya lagi kubu Gondangdia, merupakan kubu Surya Paloh dan beberapa beberapa Ketua Umum Partai lainnya.
Sementara Jokowi ada ditengah-tengah, dan berusaha untuk bersikap seadil mungkin dalam takaran mengakomodir kepentingan Partai pendukungnya. Ini bukanlah persoalan yang mudah.
Adil dalam pandangan Jokowi, belum tentu Adil dalam pandangan mereka. Padahal seharusnya berpikir "Adil sejak dalam pikiran", seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer.