Apa yang bisa diapresiasi dari DPR Periode 2014-2019, ya susah jawabnya. Yang jelas mereka berhasil menciptakan oligarki kekuasaan, yang mengkooptasi Pemerintah dengan berbagai slogan dukungan semu, demi memuluskan berbagai kepentingan politik partai.
"Kemalasan yang terlembaga" mengakibatkan rendahnya capaian program legislasi RUU, dari target 49 RUU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2017, hanya menyelesaikan 4 rancangan undang-undang (RUU) secara kumulatif terbuka.
Kebiasaan menunda proses akhir pembahasan membuat DPR tak pernah sanggup mengukir prestasi gemilang dalam bidang legislasi.
DPR kerap memanfaatkan bunyi peraturan yang membolehkan DPR memperpanjang proses pembahasan tanpa limitasi waktu yang tegas.
Aturan ini sungguh membuat kemalasan yang terlembaga, sehingga hasilnya memang buruk. Lebih buruknya lagi, setiap sidang Paripurna DPR daftar hadir anggota membuat kita miris.
Yang sukses dicapai DPR hanyalah berhasil menggolkan 5 wakil Partai menjadi Anggota BPK, ditengah keriuhan yang mereka ciptakan lewat revisi UU KPK dan RKUHP. Maka semakin nyata kekuatan oligarki politik mendominasi Pemerintahan.
Dengan menempatkan 5 wakil Partai Di BPK, yang bertugas dan mempunyai wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Mungkin dianggap perlu menempatkan wakil Partai di BPK, karena selama ini banyak kader Partai yang terjerat kasus korupsi.
Satu lagi, DPR berhasil memilih Ketua KPK yang sesuai dengan keinginan mereka. Tapi biasanya, begitu Ketua KPK dalam melaksanakan tugasnya, tidak sesuai ekspektasi mereka, maka KPK pun akan jadi bulan-bulanannya.
Lebih 260 juta penduduk Indonesia menggantungkan nasib pada Wakil mereka di senayan. Namun dalam prakteknya, apa yang diaspirasikan rakyat tidak terimplementasikan dalam kinerja DPR.