Lihat ke Halaman Asli

Ajinatha

TERVERIFIKASI

Professional

Kita Sudah Membiarkan Eks Koruptor Menjadi Caleg

Diperbarui: 16 September 2018   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto : tagar.id

Keputusan Mahkamah Agung akhirnya membolehkan Eks Koruptor menjadi Calon Anggota Legislatif, adalah cerminan kegagalan Kita sebagai masyarakat dalam mengawasi RUU Pemilu.Seharusnya sebelum RUU tersebut disahkan DPR menjadi Undang-undang, masyarakat mengkritisi apa saja muatan kepentingan yang ada dalam RUU tersebut.

Dalam rapat Paripurna pengesahan RUU Pemilu di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (21/7/2017) dini hari, terjadi lonjakan daftar hadir berkali-kali lipat dari sidang Paripurna biasanya. Seakan-akan pengesahan UU Pemilu ini adalah sesuatu yang spesial bagi anggota DPR. Inilah salah satu bentuk dari adanya muatan kepentingan Politik, yang akan diperjuangkan anggota Dewan, yang sama sekali tidak mewakili aspirasi masyarakat.

Dimana dalam salah satu pasal UU Pemilu ada frasa yang menyatakan, setiap orang yang memiliki riwayat pidana atau pernah menjadi terpidana dibolehkan mendaftar sebagai caleg namun wajib mengumumkannya ke publik.

Frasa tersebut jelas bermuatan untuk kepentingan kelompok, bukan membela kepentingan aspirasi rakyat. Bagaimana mungkin Anggota Dewan yang terhormat bisa tetap memberikan peluang untuk eks koruptor, yang sudah cacat secara moral untuk tetap bisa menjadi anggota Legislatif. Sama halnya dengan UU Pilkada, dimana seorang Eks Koruptor tetap dibolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Kalau DPR dalam Paripurna tersebut mewakili aspirasi rakyat, tentunya frasa tersebut dalam UU Pemilu pastinya tidak akan Ada. Dengan adanya pasal tersebut, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dimentahkan oleh MA, karena pasal yang diuji materi bertentangan dengan UU Pemilu. Jelas ini merupakan kemenangan bagi Eks Koruptor dan genknya Parlemen senayan.

Pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja DPR, khususnya dalam mengawasi setiap produk Undang-undang yang dihasilkan, tentunya pengawasan terhadap draft Rancangan Undang-undang, supaya Setelah jadi Undang-undang tidak kebablasan.

Situasi sidang paripurna Pengesahan UU Pemilu seperti yang digambarkan oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai, drama tersebut menunjukan gambaran umum DPR saat ini.

"Parlemen dengan seribu satu masalah, tetapi semuanya masalah terkait bagaimana mengamankan kekuasaan, mencari peluang kekuasaan yang baru, dan diantaranya transaksi (uang dan kepentingan) selalu mungkin terjadi di tengah pragmatisme partai-partai,"

Kalau seperti itu mentalitas dan kinerja DPR, bisa dibayangkan seperti apa kualitas produk Undang-undang yang dihasilkan. Semua berorientasi pada kepentingan kelompok dan Partai, bukanlah mewakili kepentingan masyarakat. Kalau benar DPR representasi dari masyarakat, tentunya produk Undang-undang yang dihasilkan mewakili aspirasi masyarakat, pada kenyataannya UU Pemilu itu bertentangan dengan keinginan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline