[caption caption="Gambar : liputan6.com"][/caption]
Deal politik dalam pengesahan APBN 2016 agaknya akan me-reshuffle Menteri BUMN, Rini Soemarno. Penolakan terhadap Penyertaan Modal Nasional (PMN), karena dianggap membebani APBN 2016, jelas akan mengancam keberadaan Menteri Rini. PMN memang seharusnya adalah tanggung jawab BUMN, dan bukan disusupkan kedalam RAPBN 2016, karena PMN dianggap malah membuat BUMN sebagai beban, bukannya aset.
Terkait hal tersebut diatas,anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (30/10/2015), berpendapat Menteri Rini pantas dicopot dari posisinya. Presiden Jokowi diimbau untuk mencari orang yang baik untuk menggantikan Rini. Seperti yang dikatakannya pada media,
"Saya kira itu itu yang harus dipertimbangkan (Rini Soemarno diganti). Cari figur tepat untuk sinergi BUMN. Yang kita butuhkan pemikiran kreatif dan solutif," tandas Hendrawan.
Masuknya PMN dalam RAPBN 2016 juga mendapat penolakan dari Partai Gerindra, sehingga Presiden Jokowi mengutus Menteri Keuangan secara khusus untuk melakuan pendekatan ke Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, bisa jadi dengan disahkannya APBN 2016 oleh DPR, sudah melalui transaksi/deal politik, dengan persyaratan pencopotan Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Adanya kesan pemerintahan Jokowi-JK terlalu didominasi kekuatan Menteri RIni cs, itu terlihat jelas dari kegamangan pemerintahan Jokowi-Jk dalam proyek Kereta Api Cepat Jakarta - Bandung, sebelumnya Jokowi sudah terlanjur mengatakan, proyek kereta api cepat itu dibatalkan, namun lain lagi dengan pernyataan Menteri Rini, yang tetap ngotot untuk terus melanjutkan, yang pada akhirnya Jokowi pun ikut melanjutkan proyek tersebut, meskipun banyak ditentang berbagai pihak.
Kalau pada akhirnya Menteri Rini benar di reshuffle, maka besar kemungkinan akan sedikit mengurangi kegaduhan didalam Kabinet Jokowi-JK, karena memang efek terlalu dominannya seorang menteri dalam sebuah kabinet akan sangat mempengaruhi berbagai kebijakan, juga akan sangat mempengaruhi kinerja Kabinet Kerja.
Tekanan politik dari eksternal itu adalah hal yang biasa, namun tidak bisa disikapi dengan cara yang biasa. Menjaga keseimbangan hubungan internal dengan eksternal sangat dibutuhkan. Loby-loby politik memang diperlukan, selama loby tersebut untuk kepentingan bersama, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok. Keberadaan oposisi dalam bernegara adalah biasa, selama oposisi memberikan kritik yang konstruktif, bukan dalam kapasitas menjegal jalannya pemerintahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H