Pada malam Nisfu Sya'ban kemarin (4/7/2012), seperti biasanya kami melakukan sholat maghrib berjamaah di salah satu Mesjid di Kramat sentiong, selepas maghrib, seorang Ustadz ceramah tentang "Amar Ma'ruf Nahi Munkar," dalam ceramah tersebut beliau menyisipkan sebuah cerita tentang upaya Khalifah Umar bin Khattab dalam Amar Ma'ruf Nahi Munkar.
Dalam cerita tersebut dikisahkan betapa Khalifah Umar bin Khattab sangat demokratis dalam menjalankan kewajibannya sebagai seorang pemimpin ummat, mau menyadari kesalahan jika memang apa yang dilakukannya pun salah, tidak bersikap otoriter dan merasa benar sendiri. Kisah tersebut sangat relevan dengan kondisi sekarang di negara ini, dalam hal penegakan kebenaran, menegakkan kebenaran haruslah dengan cara yang benar, niat yang benar harus dilakukan dengan cara yang benar pula.
Seperti yang diceritakan, saat menjabat sebagai khalifah, Umar bin Khattab suatu kali berjalan-jalan menyusuri Madinah. Begitu sampai di suatu sudut kota, Khalifah Umar mendapati suatu rumah yang beliau curigai sedang dipakai untuk bermaksiat. Sang Khalifah ingin mengecek untuk memastikannya, tapi rumah itu tertutup rapat.
Ahirnya beliau memaksa masuk melalui atap. Dan benar saja, tuan rumah sedang asik bermaksiat di rumahnya. Langsung saja Khalifah Umar menghentikankannya, dan hendak menangkapnya. Anehnya, pemilik rumah justru tidak terima. Ia mengakui memang telah berbuat dosa. Tapi menurutnya dosanya cuma satu. Sedangkan perbuatan Umar yang masuk rumahnya lewat atap justru melanggar tiga perintah Allah sekaligus. Yakni, mematai-matai (tajassus) yang jelas dilarang dalam AlQur’an (Q49:12); masuk rumah orang lain tidak melalui pintu seperti yang diserukan Qur’an (Q2: 189); dan tanpa mengucapkan salam, padahal Allah memerintahkannya (Q24: 27). Menyadari kesalahan tindakannya, Khalifah Umar akhirnya melepaskan orang tersebut dan hanya menyuruhnya bertobat.
Pelajaran apa yang bisa kita petik dari cerita yang dikutip Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din (II: 320) tersebut? Umar, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara saat itu, mestinya punya otoritas yang sah untuk mencegah kemunkaran yang dilakukan salah seorang rakyatnya. Namun berhubung cara nahi munkar beliau terbukti melanggar aturan Tuhan, pelaku maksiat tersebut akhirnya lolos. Moral story: mencegah kemungkaran haruslah dijalankan dengan cara yang tidak munkar.
Demikianlah cerita yang singkat ini, namun masih sangat relevan dengan keadaan sekarang ini. Menegakkan Amar ma'ruf dan mencegah kemunkaran memanglah sangat dianjurkan, selama dilakukan tidak dengan cara yang munkar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H