Lihat ke Halaman Asli

Ajinatha

TERVERIFIKASI

Professional

Dualisme Golkar, Sikap Pemerintahan Jokowi-JK

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418012784424524737

[caption id="attachment_358428" align="aligncenter" width="300" caption="Sumber foto : politik Kompasiana.com"][/caption]

Dualisme Partai dinegeri ini sudah menjadi tradisi, sejak mas Orde Baru sampai sekarang masih terus terjadi, semasa Orde Baru kita pernah tahu ada Partai Demokrasi Perjuangan (PDI), yang Ketua Umumnya pada masa itu adalah Megawati Soekarno Putri. Dalam proses perjalanannya PDI diobok-obok oleh pemerintahan Soeharto, lalu terpecah menjadi dua, PDI identik dengan Soeryadi, sementara Megawati membentuk partai baru,
Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P).

Selanjutnya hal yang sama dialami juga oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), akibat perseteruan antara Gus Dur dan Muhaimin Iskandar, yang notabene adalah merupakan paman dan keponakan, maka lahirlah PKB versi Gus Dur, dan PKB versi Muhaimin, sampai sekarang yang masih tetap eksis adalah PKB versi Muhaimain. Yang masih hangat diberitakan sekarang ini terpecahnya dua partai tua yakni, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar (PG).

Menyikapi perpecahan dikedua partai ini, Pemerintahan Jokowi-JK haruslah pandai menempatkan diri, agar tidak dianggap ada intervensi pemerintah terhadap perpecahan kedua partai tersebut. Menteri Hukum dan HAM tidak perlu berperan aktif seperti saat mengakui PPP Kubu Romi, yang pada akhirnya keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), memenangkan PPP kubu Muktamar Jakarta, dengan demikian keputusan tersebut mempermalukan pemerintah.

Terhadap perpecahan ditubuh Partai Golkar, ada baiknya Menteri Hukum dan Ham tidak perlu lagi berperan aktif, pemerintah harus menyikapi secara pasif, sampai ada keputusan pengadilan. Isu yang berkembang dimasyarkat sekarang ini, pecahnya PG tidak terlepas dari campur tangannya pemerintah, karena selama ini pemerintah dianggap tersandera oleh Koalisi Merah Putih (KMP), terlebih lagi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), adalah Mantan Ketua umum PG, maka kuat dugaan ada keinginan pemerintah untuk memecah belah PG.

Konflik ditubuh PG ini tidak lepas dari pengamatan Pakar Hukun Tata Negara, Refly Harun, Refly mengharapkan, menyikapi dualisme PG ini pemerintah hendaknya bersikap pasif saja, seperti yang dikatakannya :

"Pemerintah pasif saja dulu. Artinya, tidak terburu-buru mengakui salah satu pihak dari kepemimpinan Partai Golkar, baik hasil Munas Golkar Bali maupun Munas Jakarta," ujar Refly saat dihubungi di Jakarta pada Senin (7/12).(lihat sini)

Sudah bagus tidak ada wakil dari Pemerintah yang menghadiri Munas Golkar IX, baik yang diadakan di Bali, maupun yang diadakan di Ancol Jakarta, netralitas pemerintah memanglah harus benar-benar diperlihatkan. Biarlah PG menyelesaikan konflik internal partainya, pemerintah duduk manis saja menerima hasil keputusan pengadilan. Menkum dan Ham tidak perlu lagi mengulangi kesalahan.

Meski pun saat ini kubu Agung Laksono sudah ingin menghadap Menkum dan Ham, dan mengklaim kubunya sebagai PG yang diakui pemerintah, namun selama belum ada keputusan pengadilan yang menentukan, maka PG tetap saja dalam posisi "Status Quo," lebih lanjut Refly mengatakan :

"Selama proses pengadilan berjalan, lanjutnya, kepengurusan Partai Golkar yang sah adalah kepengurusan sebelum Munas Bali dan Munas Jakarta. Itu artinya status qou dan pemerintah tidak boleh menerima pencatatan dari kubu manapun sebelum ada keputusan pengadilan," tegasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline