Lihat ke Halaman Asli

Yuk, Menjadi Informan yang Baik

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kemarin, tak berapa lama usai menyebarnya berita tentang tertangkapnya artis Roger Danuarta (RD) yang sedang asyik menggunakan narkoba di mobilnya, sebuah pesan singkat masuk ke HP saya. Rupanya pesan melalui aplikasi messenger ‘Whatsapp’ (WA) dikirimkan oleh seorang kerabat yang isinya: ‘akhirnya RD meninggal dunia setelah OD!’.

Karena pesan disebarkan ke group WA keluarga kami, akhirnya banyak yang merespons, termasuk saya. Sebagai praktisi humas yang dilatih untuk melakukan cek-ricek terhadap tingkat kebenaran berita, secara spontan saya mencari-cari beritanya di berbagai media sosial dan online yang biasanya lebih cepat memberitakan. Hasilnya, saya tidak menemukan satupun berita yang mengabarkan kondisi RD sebagaimana pesan dari saudara saya tadi. Langsung saja saya membalas: ‘beritanya belum ada tuh’. Tak berapa lama, segera ditanggapi oleh saudara saya tersebut: ‘ada di tivi’ (sambil menyebutkan acara infotainment di salah satu televisi swasta). Sayangnya saya terlambat untuk melihatnya, karena sudah berganti dengan gosip lainnya. Secara bergantian beberapa saudara saya lainnya pun menanggapi dengan menanyakan kebenaran isi pesan awal tersebut. Sampai akhirnya, pesan tersebut tak terbukti keabsahannya. Malah RD terlihat sehat dan tengah menjalani pemeriksaan di Polsek Pulogadung. Menutup chatting, pesan terakhir saya: ‘saya sih gak terlalu peduli dengan kondisi RD, tapi lain kali kalo menyebarkan info harus jelas, jangan cuma hoax!’.

Disinilah terlihat perbedaan sikap dan perilaku orang dalam menyikapi sebuah informasi atau berita. Ada yang mudah sekali percaya, ada yang menyaringnya terlebih dulu. Seorang saudara saya yang mudah sekali dicekoki informasi tanpa mencari tahu dulu kebenarannya langsung meng-update status di BBM-nya: ‘akhirnya RD meninggal juga, turut berduka’. Saya hanya bisa tersenyum membacanya dan tidak ingin mengingatkannya untuk memastikan dulu benar-tidaknya.
Kejadian seperti ini terlihat biasa dan memang sudah lama kita saksikan dan alami sendiri.

Masih terkait tentang simpang siurnya berita. Dua hari lalu saya membaca sebuah artikel menarik yang ditulis seorang blogger (Arya Perdhana, 2014) berjudul “Berhenti Berbagi! Sekarang Juga!. Setelah membaca seksama, ternyata sang penulis ingin menumpahkan kekesalannya kepada kita semua dan juga media massa yang selama ini, disadari atau tidak, kerap menyebarluaskan berita yang meragukan kebenarannya. Kenyataannya memang demikian. Keberadaan teknologi yang semakin canggih tidak dibarengi dengan kecanggihan berpikir dan bertindak penggunanya. Pengguna smartphone tak semuanya dan selamanya menjadi smart dalam memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Begitu pula dengan media sosial yang kini semakin digandrungi publik justru terkadang menjadi media yang memberi pengaruh buruk atau tak memberi manfaat sama sekali bagi pemilik akunnya.

Kasus kebohongan berita seperti kisah saya diawal bukan peristiwa yang pertama kali dan pasti juga bukan kejadian yang terakhir. Akan masih banyak lagi kabar tentang kematian selebriti, bencana alam, produk terlarang, dan sebagainya yang akan kita terima melalui media komunikasi dan sosial kita.

Sebenarnya bila kita mau memberikan sedikit waktu dan pikiran kita untuk lebih cermat lagi membaca dan mencari validitas informasi, mau melakukan verifikasi dengan menelusuri sumber berita lainnya, mungkin akan lain ceritanya. Pernahkan terpikir oleh kita akan dampak dari informasi atau berita bohong yang kita sebarluaskan? Fitnah dan kepanikan adalah sebagian diantaranya. Bayangkan bila itu terjadi pada diri kita, keluarga dan sahabat kita. Berapa orang yang kita rugikan karena perilaku kita sebagai ‘clicking monkeys’.

Sudah sering kita menerima pesan berantai atau broadcast message melalui HP kita tentang produk haram / terlarang misalnya. Saya jadi merenung, apa yang ada di benak mereka ya kok bisa-bisanya dengan mudah mengirimkan berita hoax semacam itu. Bila memang terbukti produk tersebut terlarang dan berbahaya, laporkan saja kepada aparat berwenang dan biarlah mereka yang menindaknya. Tapi bila tidak benar, apa yang akan terjadi. Tentu masyarakat yang mudah terpengaruh akan berhenti membelinya. Kalau ini terjadi secara massal maka dapat dibayangkan berapa dan siapa saja yang akan terkena dampak/kerugiannya?

Untuk itu, saya mengingatkan diri sendiri dan para pembaca sekalian, agar selalu melakukan verifikasi dan validasi pada setiap informasi atau berita yang kita terima. Perlu diketahui bahwa tak semuanya itu benar dan layak kita serap begitu saja. Disinilah pentingnya kita selalu cek dan ricek, ber-tabayyun. Ingatlah bahwa menjadi informan yang baik itu akan sangat bermanfaat bagi diri kita dan banyak orang. Ketimbang menjadi penyebar isu/gosip murahan, lebih baik menjadi penyuplai informasi yang mendidik dan mencerahkan. Sudah saatnya kita berubah. Harus!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline