Lihat ke Halaman Asli

Narkoba: Itu Saya, Sebuah Masa Lalu

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita ini berawal  ketika akhir 80an tepatnya tahun 1989, orang tua memutuskan untuk pindah dari Jakarta ke kota lain, tempat di mana ibuku di lahirkan. Alasannya hanya satu, Jakarta tidak akan ramah bagi perkembanganku kelak, terutama menyangkut tawuran dan narkoba yang kala itu ayah nilai sudah terlalu mengkhawatirkan, dan alasan itu benar adanya, dari enam dari sepuluh kawan sepermainanku di sebuah komplek di pinggiran Jakarta, dua sudah pass away, dan sisanya keluar masuk pusat rehabilitasi.

Namun mereka juga salah, jika mengira di kota baruku aku akan terhindar dari jerat narkoba. Di mulai dari minuman ber-alkohol semenjak kelas 2 SMP, kemudian menanjak pada penyalahgunaan obat-obatan daftar G, kala SMA, dan kala kuliah mengenal ganja, putaw, ektasi dan shabu-shabu.

Minuman ber-alkohol ini kukenal dari pergaulan ku dengan teman-teman SMP yang memang terkenal nakal-nakal, mulai dari produksi rumahan seperti, jamu, lapen, kidangan (Klaten), ciu mbekonang (Solo), susu macan, tangkur, keplokan hingga buatan pabrik seperti, KTI, AO, Vodka, Mansion, AP, Tomir (Ap dan Tomir setelah krisis 97).  Jika dari pabrikan yang paling enak menurutku sunrise, campuran vodka, bir (dingin), dan kratingdaeng, kami bisa habis bersetel-setel.

Obat-obatan juga mulai akrab dengan diriku ini selepas SMP, memasuki dunia hitam yang lebih luas, di mulai dari pil koplo yang paling murah yaitu BK, 5 ribu dapat 10 butir, kemudian Magadon (yang katanya obat penenang untuk orang-orang yang sakit jiwa alias gila), kemudian Nipam, Lexo (Lexotan), Rhohip (Rhohipnol), dan RJ. Saking gilanya, bahkan sempat jadi bd (Bandar) kecil-kecilan, jika bd yang besar harus beli minimal satu tik (satu strip, isi 10 butir), aku jual ngecer per butir.

Begitu juga dengan Ganja, yang ku kenal sejak menginjak bangku kuliah, awalnya sangat sulit mencari ganja ini, namun sejak tahun 2000 peredaran ganja ini bebas sekali, sangat mudah di temukan, seperti peredaran rokok saja. Satu garis hanya lima ratus ribu rupiah, bisa di jadikan 30 amp (amplop) di jual dengan harga lima ribu satu amp-nya. Satu amp bisa menjadi 4 sampai lima linting ganja.

Sisanya aku nggak begitu enjoy memakainya, mungkin karena efek yang di hasilkan bukan merupakan sesuatu yang menyenangkan buat diriku, seperti putaw, yang di karena-kan hidung yang super sensitive (terkena barang asing, langsung bersin-bersin) dan ketakutanku dengan jarum suntik, putaw ini jarang makenya. Begitu pula dengan inex, karena house music yang aku benci jadi aku nggak suka memakainya, pun pula dengan shabu-shabu, efek begadangnya nggak ‘nguatin’.

Ada satu lagi jenis narkoba yaitu LSD (Lycergic Acid Diethylamide), yang disarikan dari jamur yang tumbuh dari kotoran sapi dan kuda, kami biasa menyebutnya ‘mushroom’, tetapi lebih enak bila memakan jamur ini langsung, caranya di goreng dengan telur dadar. Mushroom ini bisa di dapatkan pada kawasan pantai bila musim hujan tiba, satu plastik di hargai dua puluh ribu rupiah, efek yang di hasilkan hampir sama dengan ganja, efek eforia dan halusinasi yang berlebihan bahkan kadang lebih parah.

Tapi semua sudah berlalu, kurang lebih delapan tahun yang lalu. Entah kenapa aku bisa tiba-tiba membenci semua itu, bahkan hanya mencium bau minuman beralkohol, langsung terasa pusing dan mual.

Aku hanya ingin menceritakan masa lalu, untuk memberikan opini pribadi tentang narkoba ini, apa dan bagaimana;

1.    Pemakai narkoba bukan melulu merupakan pelarian, banyak pemakai yang berangkat dari keluarga hangat dan harmonis  serta tidak bermasalah dengan teman, pacar dan lingkungan. Banyak dari  mereka adalah figur yang ideal untuk di jadikan contoh (sebelum jatuh ke jerat narkoba); pintar, berprestasi dalam sekolah, mudah bergaul, sopan, taat terhadap agama. Contoh: 3 orang teman yang biasa on bersama, adalah orang-orang yang berasal dari keluarga yang ideal dan tidak punya masalah dalam keluarga, satu anak seorang artis/pelawak yang cukup terkenal di kotaku, satunya merupakan anak dari purnawirawan, dan yang terakhir anak pengusaha mebel, kami berempat selalu berlomba menjadi yang terbaik di sekolah, maksimal 10 besar. Akhir 2010, ketika reuni, untungnya semua sudah sadar dan tidak pernah menjamah barang-barang itu lagi.

2.    Semuanya selalu berangkat dari coba-coba, lari dari masalah hanyalah salah satu ‘trigger ‘dari keinginan menggunakan narkoba. Kebanyakan pengguna hanya ingin bersenang-senang. Ada tahap-tahapan dari para pengguna ini, yaitu:
•    Tahap coba-coba
•    Tahap pengguna tetap
•    Tahap pencandu
Menurut pengalamanku, masing-masing tahapan hanya berlangsung singkat, sekitar satu sampai dua bulan. Namun setiap orang bisa berbeda-beda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline