Lihat ke Halaman Asli

Beban Perempuan dalam Tradisi Mudik

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Fenomena pelecehan terhadap kaum perempuan di kendaraan umum akhir-akhir ini sedang menjadi buah bibir. Wacana untuk memisahkan halte perempuan yang terpisah dengan laik-laki sempat mencuat, namun dalam pelaksanaan tetap tidak mudah. Bahkan, beberapa orang sempat berwacana memisahkan kendaraan umum yang khusus laki-laki dan khusus perempuan.

Saat itu kendaraan umum akan terlihat penuh-sesak penumpang, berjubel hingga harus rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket. Tahun lalu, pemudik dari kota Jakarta saja berjumlah 16 juta orang, belum dari kota lain. Total 25-26 juta pemudik dari seluruh Indonesia akan memadati ruas jalan penjuru tanah air. Faktor ini memaksa pemerintah untuk terlibat aktif mengamankan dan memberi kenyamanan kepada setiap warga negara yang sedang mudik.

Pada umumnya, mereka yang melaksanakan mudik adalah orang yang mencari mata pencaharian di kota-kota besar. Sebagian menggantungkan hidupnya pada sektor industri, sebagian yang lain menjadi pembantu rumah tangga dan sektor swasta. Satu hal yang harus dicatat, kebanyakan di antara mereka adalah kaum perempuan.

Beban Perempuan

Setiap perjalanan mudik di kendaraan umum, kaum perempuan tidak lepas dari mara bahaya. Baik itu disebabkan oleh niat jahat pelaku maupun si perempuan sendiri yang menarik datangnya kriminalitas. Hal yang paling sering terjadi berupa pelecehan seksual.

Korban pelecehan seksual di waktu perjalanan mudik tidak pernah teridentifikasi dalam jumlah yang pasti. Yang jelas, kasus ini sering terjadi secara sengaja atau pura-pura tidak di sengaja. Pelakunya tidak lain adalah kaum laki-laki. Kita bisa bayangkan dalam kendaraan umum yang sangat sesak, ada yang iseng menyentuh anggota badan tertentu perempuan. Maka kemana si perempuan akan mengadu dan siapa yang akan diperkarakan?.

Sebelum semuanya terjadi, sebaiknya kaum perempuan mengantisipasi terjadinya sebuah pelecehan. Mereka harus mempersiapkan diri dengan pakaian yang tidak menarik perhatian tangan-tangan jahil. Usahakan juga untuk melakukan perjalanan pulang secara berkelompok dengan teman kerja atau kenalan yang bisa dipercaya.

Kasus yang juga sering menimpa perempuan mudik adalah tindak kejahatan. Bisa berupa fisik, non fisik maupun kedua-duanya. Modus para pelaku berorientasi pada materi. Perempuankerap menjadi incaran karena mereka dianggap lebih lemah dari laki-laki.

Meskipun korban pencurian, pencopetan dan perampokan tidak selamanya kaum perempuan, tapi harus disadari masih banyak manusia Indonesia yang berpikiran anti gender. Pandangan “perempuan lebih lemah dari laki-laki” juga berpengaruh terhadap banyaknya korban kejahatan. Apabila pemahaman gender dimiliki semua orang, kejahatan seperti ini bisa ditekan.

Pelecehan seksual dan korban kejahatan dalam perjalanan mudik seperti di atas bukan berasal dari diri perempuan sendiri. Bisa jadi keduanya lebih mudah di atasi asal konstruksi budaya berpihak pada kaum perempuan. Kedua hal itu juga tidak berlaku bila perempuan yang mudik berasal dari golongan kaya yang punya mobil pribadi. Lain halnya ketika beban ini berasal dari kodrat perempuan sebagai ibu, tentunya amat sulit.

Sekedar ilustrasi, seorang ibu menggendong bayi ketika hendak mudikdari Jakarta ke Solo. Dalam perjalanan, ia disertai oleh suaminya. Belum tentu pasangan suami istri ini mendapatkan tempat duduk ketika naik angkutan umum yang mengantar mereka ke desa halaman. Ketika sang bayi haus, ibu-lah yang harus menyusui. Meskipun sang suami bisa menggendong bayi, pekerjaan menyusui tidak bisa digantikan olehnya.

Peristiwa ibu menyusui adalah pelajaran berharga perempuan ketika mudik. Untuk mengurangi beban ibu tersebut, mengganti ASI dengan susu formula menjadi pilihan terbaik di perjalanan. Hal yang seharusnya dilakukan adalah menunda mudik atau tidak mudik sekalian. Ini demi kesehatan ibu dan bayi yang masih membutuhkan nutrisi.

Tidak Mudik

Artikel ini tidak bermaksud menakut-nakuti kaum perempuan untuk turut serta merayakan lebaran di kampung halaman. Kerinduan saat pulang desa di kala mudik ditambah ibadah Idul Fitri sebagai kembali ke fitrah adalah kerinduan yang amat manusiawi. Namun perempuan yang sudah menjadi ibu harus lebih arif mensikapi mudik ini.

Perempuan lebih mudah mengelak menjadi korban kejahatan daripada menyusui anaknya. Maka seorang ibu harus memikirkan faktor keamanan bagi diri dan bayinya. Idul fitri tidak akan bermakna bila nanti menimbulkan korban dari pihak ibu atau bayi akibat perjalanan yang melelahkan.

Begitu suami, ia harus berfikir pada kesehatan istri dan anaknya ketika hendak mudik. Lebaran memang harus dirayakan sebagai hari kemenangan dari pembakaran dosa yang telah dijalankan sepanjang bulan ramadhan. Di hari Idul Fitri itu, setiap Muslim yang telah menjalani ibadah puasa secara sempurna diibaratkan seperti manusia yang dilahirkan kembali (fitrah) tanpa memiliki dosa. Sanak-kerabat berkumpul dan saling berkunjung memberi ucapan selamat, sekaligus saling membuka pintu maaf atas kesalahan yang telah terjadi sepanjang tahun. Jadi intinya, idul fitri adalah komunikasi antar sesama manusia dalam membuka pintu silaturahmi.

Jaman sekarang komunikasi bisa lebih mudah dengan segala fasilitas yang ada. Kita bisa memberi pengertian pada pihak keluarga di desa bila tidak mudik karena istri sedang menyusui, kondisi bayi yang belum memungkinkan maupun alasan lain. Saling bermaafan di hari idul fitri adalah utama, tapi juga tidak menutup kemungkinan bila menjalankan di hari lain.

Ajib Purnawan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline