“After hopelesness there is so much hope, and after darkness there is much brigther sun”. - Jalaluddin Rumi, al Matsnawi-al Maknawi
Kutipan tersebut terdapat dalam karya puisi fenomenal al Matsnawi-al Maknawi (The Spiritual Couplets) yang ditulis oleh seorang penyair klasik terkemuka asal Persia pada abad ke-13 yaitu Maulana Jalaluddin Rumi.
Kutipan bait fenomenal tersebut juga tertulis pada sebuah spanduk yang melekat pada paket bantuan kemanusiaan dalam rangka penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Inggris, bantuan tersebut berisi perlengkapan medis seperti alat pelindung diri dan masker bedah yang dikirimkan kepada pemerintah Inggris atas inisiatif Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, pada hari Rabu tanggal 8 April 2020 lalu.
Pesan yang selaras namun memiliki makna yang berbeda juga tercantum pada surat-surat bertuliskan bahasa Belanda yang dikirimkan Raden Adjeng Kartini kepada seorang sahabat pena-nya di Belanda. Sahabat pena Kartini itu adalah Stella Zeehandelar, gadis anak seorang buruh pabrik gelas di Belanda yang memiliki persepsi yang sama atas peran perempuan dalam pembangunan masyarakat dan relevansinya terhadap perubahan-perubahan status sosial perempuan menuju arah yang lebih baik.
Kumpulan surat-surat Kartini kepada Stella kemudian dikompilasi dan dibukukan oleh Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda pada saat itu, J.H. Abendanon dan diberi judul Door Duisternis tot Licht atau dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku itu kemudian diterjemahkan oleh seorang sastrawan Indonesia yang bernama Armijn Pane dan diterbitkan oleh Balai Pustaka dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Sejarah akan berulang dan menampakkan diri dalam wajah yang berbeda, tak terkecuali resesi dan krisis ekonomi. Beberapa dekade yang lalu, Indonesia pernah dilanda resesi dan krisis ekonomi yang cukup parah. Tahun 1930-an misalnya, ketika the Great Depression melanda Amerika dan mengguncang perekonomian dunia, pada gilirannya meruntuhkan pasar ekspor Indonesia.
Saat itu pemerintah kolonial amat bergantung pada pendapatan hasil ekspor, sedangkan pasar ekspor runtuh akibat krisis ekonomi. Ditambah lagi, kebijakan eksploitatif pemerintah kolonial melalui sistem cultuurstelsel (tanam paksa) dirasa cukup menyiksa petani. Bagai peribahasa “sudah jatuh tertimpa tangga”, para petani juga dibebani pajak yang berat.
Kemudian apa yang terjadi? di Yogyakarta para petani kesulitan menjual bahan tani mereka yang melimpah, uang menjadi amat langka dan krisis deflasioner pun melanda. Disamping itu, biaya produksi, pengelolaan, dan pengangkutan bahan tani tetap memakan biaya yang tidak sedikit. Daya beli petani menurun. Rakyat pribumi yang saat itu mayoritas mata pencahariannya adalah hasil tani akhirnya merugi, alhasil rakyat pun menderita.
Penderitaan rakyat di zaman ini terangkum dalam buku karangan Ben White dan Peter Boomgard: Dari Krisis ke Krisis. Namun di tangan perempuan, industri batik pun bangkit, menggantikan pertanian yang menjadi lapangan pekerjaan utama kala itu, baik di kota maupun di pedesaan.
Begitu pula dengan industri kerajinan anyaman bambu dan tenun tangan. Ini adalah contoh sederhana bagaimana andil perempuan dapat berdampak cukup signifikan pada daya tahan terhadap krisis subsistensi: suatu kondisi ekstrim yang mengancam penghidupan dasar rakyat pada saat itu. Ulasan singkat saya mengenai sejarah resesi ekonomi dapat anda temukan dalam Napak Tilas Resesi Ekonomi di Indonesia.