Lihat ke Halaman Asli

Aji Aribowo

Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma) | Law, Science, Sport, and Social Enthusiast.

Kursus

Diperbarui: 17 November 2019   02:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi oleh si mpus

"Mau kawin kudu kursus dulu?" 

Pertanyaan yang terlintas di pikiran saya saat sedang melakukan kegiatan rutinitas manusia modern yaitu menginduksi hormon "bahagia" dalam diri saya melalui sebuah kegiatan yang tidak ada prospeknya sama sekali-scrolling feed instagram. Ya, benar, tanpa sengaja saya membaca sebuah postingan bertuliskan "Mulai 2020 pemerintah mewajibkan warganya yang akan menikah untuk mengikuti kursus pranikah"

Bagi sebagian orang menikah adalah kegiatan yang sangat sakral. Mempersatukan dua hati yang saling jatuh cinta dan berujung menyatukan dua keluarga yang tidak saling kenal melalui hubungan pernikahan. Entah karena alasan perintah agama, budaya, finansial, suka sama suka atau kecelakaan konyol. Kedua calon mempelai yang akan menikah lazimnya menyiapkan beragam hal dengan berbagai perhitungan yang sangat matang, khususnya dari aspek finansial dan kesiapan mental. 

Namun, bagi sebagian orang, menikah bisa jadi adalah hal yang sepele dan bermuara pada slogan yang kerap kali santer terdengar di telinga saya  "udah halal bro", "enak tenan bos", "maknyuss boskuu"...

Slogan-slogan tersebut mengandung pesan tersirat yang penting nge-seks udah halal, nggak dosa, dan malah bisa jadi ladang pahala. Kalau tujuan  menikah hanya ingin melegalkan hubungan seksual agar bisa dapat pahala secara agama dan sah di mata hukum negara tanpa memikirkan efek samping dari pernikahan yang "pokok e rabi sik rejeki iso digoleki" (translate: yang penting nikah dulu rejeki masih bisa dicari") maka orang itu perlu berkontemplasi dan musti sering-sering nonton natgeo wild atau animal planet. 

"2 anak cukup!"

Aroma keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan ledakan populasi warganya tidak tercium sama sekali. Data yang saya sadur dari BPS, jumlah populasi di Indonesia saat ini berjumlah kurang lebih 267 juta jiwa dengan salah satu komponen penyusunnya 9.41% atau kurang lebih 25.124.700 jiwa adalah masyarakat dengan kategori "miskin". Bukan, bukan kemiskinan yang saya tekankan, tapi jumlah manusia yang tinggal di republik ini semakin banyak dan semakin mengkhawatirkan. Kemiskinan hanya gambaran satu dari sekian permasalahan akibat perkawinan awut-awutan.

Upaya pemerintah melalui Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) patut diacungi jempol pol pol.. hanya saja edukasi yang disampaikan kurang masif.. tidak seperti iklan rokok yang muncul di TV, bioskop, atau kanal website online lain. (mungkin anggarannya sedikit, nggak kayak anggaran infrastruktur)

Ya, saya cukup khawatir dengan benda angkasa bernama bumi ini. Manusia semakin banyak layaknya virus yang menggerogoti dari dalam. Perlahan tapi pasti, udara semakin panas-sampah plastik-deforestasi-kemiskinan-tindakan kriminal-global warming/cooling sedang terjadi dimana-mana dan saya cukup khawatir. 

Harapannya, program kursus pra-nikah ini dapat mengedukasi warga agar dapat menjalin hubungan pernikahan yang harmonis (mengurangi tingkat perceraian) dengan lebih berkualitas (mengutamakan pendidikan dan pendidikan anak lebih terjamin). Tidak asal-asalan kawin, banyak beranak, dan berakhir pilu bagi warga bumi yang lain (baca: hewan dan tumbuhan).

Andai mpus-mpus di jalanan dikursusin juga biar gak banyak mpus yang jadi gelandangan dan bisa cari penghidupan yang layak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline