Silakan Anda tak percaya, namun ini nyata…..suatu kejadian di mana ada pegawai bukan berbasic pendidik kemudian didaulat menjadi tenaga pendidik (baca: menjadi guru SD). Kejadian ini saya dengarkan dari ayah saya yang menceritakan di tempat instansi Beliau bekerja, seorang teman yang kebetulan juga teman se-SMA saya yang telah bekerja menjadi PNS di instansi SATPOL PP dialihtugaskan menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar negeri. Keheranan saya lebih menjadi-jadi, takkala terdengar slentingan, memang sekarang ini banyak tenaga yang non pendidik dialihfungsikan sebagai guru di SD di berbagai daerah. Karena basiknya memang bukan guru maka pemda pada akhirnya ikut andil menyekolahkan pegawai tersebut di salah satu FKIP swasta. Jadi jangan heran ketika seorang berijazah S. sos menjadi guru SD, atau mungkin SH menjadi guru pula.
Satu paragraf yang telah disampaikan di atas bukan isapan jempol, atau kisah fiksi. Namun lebih dari itu, kejadian ini merupakan sebab dari kebobrokan sistem manajemen di suatu kabupaten atau mungkin juga suatu kesengajaan. Dan dari berbagai sumber yang sudah terpublikasi, kabupaten yang saya maksud merupakan salah satu kabupaten dengan rasio belanja pegawai sebanyak lebih dari 70% persen dari total APBD. Jadi dengan angka rasio yang sungguh luar biasa. Bisa dipastikan sekarang ini, pemda setempat tidak dimungkinkan merekrut pegawai negeri sipil meski butuh (baca : kebutuhan tenaga pendidik). Padahal secara fakta, kebutuhan akan tenaga pendidik di daerah sangat besar. Secara fakta, kebutuhan pegawai di suatu daerah sering kali timpang. Bagaimana tidak timpang, justru ketika dibanyak instansi di jajaran Pemda kelebihan pegawai. Namun di sisi lain ada instansi yang justru kekurangan pegawai.
Dari dua paragraf di awal, saya kembali menarik alur waktu menuju masa beberapa tahun silam. Yakni ketika seorang kepala daerah incumbent, demi memuaskan syahwat menjadi pemimpin, rela memberikan parcel manis ke seluruh pegawai honorer daerah. Parsel apa yang dimaksud? Parcel yang dimaksud adalah berupa SK bupati yang selanjutnya sebagai modal terangkatnya mereka (pegawai honorer) menjadi PNS. Bahkan PRT bupati waktu itu pun bisa memeroleh hak terangkat menjadi PNS, tidak percaya? Percayalah karena ini fakta.
Fakta yang dulu pernah tersulam mengindikasikan memang benar pemberian SK bupati secara massif kepada beberapa pegawai honorer, dirasa merupakan bentuk memupuk simpati masyarakat lewat parcel SK bupati. Model penarikan simpati lewat jalur parcel SK,ternyata tidak hanya terjadi di satu daerah saja. Di beberapa daerah hal ini pun pernah terjadi. Maka tak mengherankan ketika dilaporkan ada suatu daerah yang overdosis jumlah PNS. Tak mengherankan pula ketika kita banyak melihat PNS Pemda menganggur tak ada kerjaan.
Dari beberapa paparan di depan dapat disimpulkan bahwa pembinaan PNS daerah di bawah Kepala Daerah menjadi salah satu pemicu praktek rekrutmen yanng tidak didasarkan pada pertimbangan kebutuhan riil personil serta kemampuan daerah dalam membayar belanja pegawai. Dan mengingat juga peran kepala daerah adalah pejabat politik, maka merekrut sebanyak mungkin PNS daerah merupakan insentif politik untuk merawat tim suksesnya dengan menggunakan uang rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H