Betapa kebenaran yang aku rasakan disaat belum bisa melihat, begitu jauh dengan realitanya. Begitu mudah orang-orang menyampaikan berbagai fitnah dan kabar bohong, itulah salah satu tanda-tanda akhir zaman yang aku ketahui dari Bimo. Aku semakin sangat merindukan Bimo, karena Bimo mengajarkanku tentang berbagai kebaikan.
BAB II. TANPA HATI
Betapa penyesalan itu selalu datang terlambat, disaat belum melihat, aku begitu mampu menjaga hati agar tidak menyakiti, meski terkadang aku begitu congkak dan sombong untuk menutupi kekurangan. Kadang aku berpikir, terlalu mahal yang aku tebus hanya demi bisa melihat dunia. Padahal saat ada Bimo, dia berperan sebagai mataku.
Oh Tuhan..kenapa hati ini selalu mengingatnya..seharusnya aku lebih mengingat-Mu..bagaimana aku bisa melupakannya Tuhan..dia yang mengajarkanku mengenal dan mengingat-Mu.."
Susah aku menjawab pertanyaan ayah, ketika suatu pagi ayah menanyakan Bimo yang tidak lagi pernah berkunjung ke rumah.
"Aini..Bimo kemana..udah satu minggu sejak kamu bisa melihat..ayah tidak melihat dia.."
Aku diam seribu bahasa, aku cuma menjawab pertanyaan ayah dengan airmata, pertanyaan itu begitu menohok jantungku, menghakimi hatiku atas sebuah kesalahan.
"Kenapa disaat kamu sudah bisa melihat justeru Bimo tidak lagi ada disampingmu..kalian putus.."
"Kok kamu jawab pertanyaan ayah dengan tangisan aini.."
"Apa yang terjadi diantara kalian...Bimo itu lelaki pecinta sejati kalau ayah lihat.."
Aku seperti menghadapi pukulan beruntun yang dilayangkan ayah, mulutku kelu untuk menjawabnya, aku cuma bisa menghambur kedalam pelukan ayah dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak sanggup mengatakannya pada ayah, ayah tidak tahu kalau Bimo sudah tiada.