Lihat ke Halaman Asli

Aji Andana

Mahasiswa

UU ITE Ujaran Kebencian melalui Media Sosial

Diperbarui: 19 Februari 2024   17:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG ITE DALAM PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN MELALUI MEDIA SOSIAL

ABSTRAK

Seiring dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi informasi dewasa ini, merupakan salah satu penyebab perubahan kegiatan masyarakat di berbagai bidang yang dapat mempengaruhi timbulnya bentuk-bentuk tindakan hukum baru. Ujaran kebencian menjadi topik yang paling berpengaruh karena berpotensi mengancam persatuan bangsa. Dijelaskan bahwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bentuk perwujudan dari tanggung jawab yang harus diemban oleh Negara, untuk memberikan perlindungan maksimal pada seluruh aktivitas penggunaan teknologi informasi dan komunikasi agar terlindungi dengan baik dari potensi kejahatan dan penyalahgunaan teknologi. Harapannya aparat penegak hukum perlu meningkatkan kinerja dikalangan aparat penegak hukum dalam mencegah tindak pidana penyebaran berita yang melanggar hukum di media sosial, dan kepada Pemerintah yang berwenang wajib untuk meningkatkan penggunaan sarana dan prasarana dalam pencegahan tindakan yang dapat merugikan pihak lain akibat berita palsu di media sosial. Diimbangi dengan masyarakat yang lebih berhati-hati dan lebih cerdas menyaring informasi yang diterima di media sosial dan tidak mudah untuk ikut menyebarkan informasi yang belum tentu sesuai dengan fakta.

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan sumber daya alamnya, dan memiliki beragam suku, budaya, agama dan bahasa. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan ada 278.7 juta penduduk Indonesia pada 2023. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 1,1% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 275,7 juta jiwa. Menurut catatan BPS, terdapat lebih dari 1.300 suku bangsa di Indonesia. Keberagaman tersebut dapat menjadi hal yang positif sebagai alat yang berpotensi untuk memajukan bangsa. Namun di sisi lain dapat menjadi hal yang negatif apabila tidak dapat mengelola keberagaman dengan baik, ditambah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin berkembang.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. Dari angka tersebut, 95% menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional  Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Selamatta Sembiring mengatakan, situs jejaring sosial yang paling banyak diakses adalah Facebook dan Twitter. Indonesia menempati peringkat 4 pengguna Facebook terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Di era globalisasi, perkembangan Telekomunikasi dan Informatika (IT) sudah begitu pesat. Teknologi membuat jarak tidak menjadi masalah bagi masyarakat untuk melakukan komunikasi. Internet tentu saja menjadi salah satu medianya. Indonesia menempati peringkat 5 pengguna Twitter terbesar di dunia, hanya kalah dari USA, Brazil, Jepang dan Inggris. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa Indonesia tergolong aktif di dunia internet.

Dari banyaknya informasi terutama yang ada di internet, informasi yang negatif atau tidak valid terkadang dapat memicu sikap untuk saling menjatuhkan, mencaci dan menyebarkan kebencian. Salah satu penyebab ujaran kebencian adalah kekecewaan individu karena mengalami sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dirasa atau dilakukannya. Didasari dengan kemudahan akses oleh siapapun melalui smartphone yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja. Kemudian ujaran kebencian itu dapat dilakukan lewat berbagai media, seperti media sosial, penyampaian pendapat di muka umum, media massa online maupun cetak, dan spanduk atau pamflet.

  

PEMBAHASAN

Pada dasarnya ketika berkomunikasi, sudah menjadi keharusan menggunakan etika yang baik dan benar. Sama halnya dengan memberikan informasi, tidak ada yang dikurangi atau dilebihkan dan tidak diputarbalikkan dari fakta yang sebenarnya. Menurut Saparinah Sadli, “perilaku menyimpang itu merupakan ancaman yang nyata atau ancaman norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman riil atau potensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial”. Kemudahan dan kebebasan seseorang untuk menerima, berbagi, dan memberi komentar melalui media sosial menunjukkan bahwa informasi yang diterima itu sesuka hati tanpa konfirmasi dari pihak yang bersangkutan.

Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”. Namun Pasal ini masih menjadi perdebatan pro dan kontra. Di kubu kontra beranggapan bahwa Pasal ini adalah pasal karet yang hanya akan membatasi kebebasan masyarakat dalam berpendapat atau berekspresi di dunia maya maupun pers. Dan juga tidak ada penekanan delik penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini yang dianggap masih bersifat subjektif dan rentan pada multitafsir suatu protes, pemukaan pendapat, pikiran ataupun kritikan. Para ahli juga berpendapat bahwa Pasal ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum karena pengertiaanya masih terlalu luas, singkat dan tidak detail secara materi dan subtansi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline