Lihat ke Halaman Asli

Generasi Z dan Indonesia

Diperbarui: 30 Juli 2021   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah lebih dari tiga perempat abad lamanya Indonesia merdeka. Itu berarti, sudah ada sekurang-kurangnya tiga generasi yang menikmati kenyamanan hidup di negara Indonesia yang utuh dan berdaulat. Bukan berarti kewajiban mempertahankan negara semerta-merta lenyap begitu saja. Sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 27 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Dari pasal tersebut, sudah tergambar jelas bahwa setiap orang yang menyandang status kewarganegaraan Indonesia, wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat negara ini, termasuk kita, para generasi muda Indonesia. Lalu, bagaimana praktik bela negara yang ditunjukkan generasi muda Indonesia?

 Sebelum kita masuk lebih dalam, pertama-tama, kita harus mengetahui terlebih dahulu, siapa yang dimaksud dengan generasi muda ini. Generasi muda di sini merujuk kepada Generasi Z, yaitu generasi yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai dengan tahun 2012 Masehi. Generasi ini merupakan generasi peralihan Generasi Milenial dengan teknologi yang semakin berkembang (Wikipedia Bahasa Indonesia, Generasi Z). Kesan yang lekat pada Generasi Z ialah anak muda yang individualis, mandiri, serba cepat dan instan, serta asik dengan dunianya sendiri. Lebih jauh, stigma yang ditanamkan generasi-generasi sebelumnya kepada Generasi Z ini membuat mereka dipandang malas dan tidak peduli dengan nilai-nilai "berbobot", seperti nasionalisme. Lalu, apakah stigma tersebut terbukti benar?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme bermakna paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Lalu mengapa Generasi Z sering dianggap tidak mencerminkan jiwa nasionalisme? Jawabannya sudah jelas. Jika dilihat, terdapat suatu kebanggan tersendiri pada Generasi Z saat mereka berhasil menemukan dan memaparkan diri mereka terhadap hal-hal berbau internasional, yang dikategorikan sebagai "gaul" dan "kekinian".

Contoh sederhananya, kita lebih bangga membeli barang-barang produksi luar negeri daripada buatan Indonesia, walaupun produk-produk lokal memiliki daya saing yang tak kalah tinggi dengan label internasional. Kita lebih menyukai makanan-makanan internasional dan makan di rantai makanan cepat saji, dibanding menikmati makanan-makanan Indonesia dari restoran lokal. Soal wisata, kita lebih bangga ketika bisa menempuh perjalanan ke luar negeri, padahal wisata-wisata di Indonesia sudah bereputasi sangat baik dan berkelas dunia, dimana wisatawan mancanegara pun singgah ke Indonesia untuk berwisata.

Belum lagi penggunaan Bahasa Inggris pada kehidupan sehari-hari yang sudah menjadi hal lumrah, ketika pada saat yang bersamaan, bahasa daerah perlahan mulai punah. Ditambah, kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar oleh generasi muda yang sangat memperihatinkan. Itu semua hadir menjadi ironi akibat generasi kita yang terlalu berkiblat pada sosial media, dan dalamnya keinginan untuk dipandang "keren dan gaul". Jika begitu urusannya, mengapa kita tidak gencar-gencarnya mempromosikan kebudayaan Indonesia, mencintai barang-barang buatan Indonesia, dan menjunjung tinggi Bahasa Indonesia ke mata dunia, agar kelak dapat menjadi populer? Dengan begitu, kita bisa melestarikan warisan bangsa, menumbuhkan rasa nasionalisme, sekaligus tetap dipandang keren dan gaul.

Contoh lainnya adalah pada kegiatan-kegiatan atau hari-hari kebangsaan. Jika diperhatikan, berapa banyak teman-teman kita yang benar-benar khidmat menjalani upacara bendera setiap hari Senin yang kita lakukan di sekolah? Sangat minim, bukan? Kita lebih sering melihat siswa-siswi yang asik mengobrol dan bercanda dengan sesamanya. Padahal, upacara bendera tersebut mengandung makna yang dalam dan berperan penting dalam penanaman jiwa nasionalisme ke generasi muda Indonesia. Seharusnya, kita dapat lebih menghargai hasil dari usaha para pahlawan terdahulu, yang sekarang sudah tersedia dengan nyaman dan lengkap di depan mata kita.

Diskriminasi, rasisme, dan pertikaian pun masih terjadi di antara kita, sesama bangsa Indonesia. Belum lagi nasionalisme para pemuda yang sering disalahartikan, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan tujuan nasionalisme, atau dengan kata lain, nasionalisme toksik. Sudah jelas bahwa kita berbagi bangsa, tanah air, dan bahasa yang satu, seperti yang diikrarkan di dalam Sumpah Pemuda. Lalu, kemana hilangnya nilai-nilai semangat persatuan para pemuda kita?

Dari paparan di atas, bukan berarti kita harus mengisolasi diri dari dunia luar, atau menolak mentah-mentah hal-hal berbau non-Indonesia guna meningkatkan nasionalisme di dalam diri kita. Tentunya kita tidak bisa berdiri sendiri, hidup tanpa dukungan dari manapun. Nasionalisme yang dimaksudkan di sini adalah, nasionalisme beradab dan bertanggung jawab. Jika tersedia dua pilihan yang sama baiknya, hendaklah kita mendahulukan negara kita tercinta. Ingat, berjiwa nasionalisme berarti memiliki niat kuat di hati untuk mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa Indonesia. Dengan implementasi yang baik dan sesuai, niscaya jiwa nasionalisme tersebut akan melahirkan lebih banyak kebaikan, juga membawa negara kita menuju kemakmuran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline