Siyasah Syar'iyyah merupakan ketentuan kebijakksanaan pengurusan kenegaraan dengan berdasarkan syari'at (Iqbal : 4). Munculnya siyasah syar'iyyah disini guna mengatur dan mengatasi masalah-masalah umum bagi pemerintahan Islam untuk menegakkan persaudaraan kemanusiaan dan ukhuwah islamiyyah tanpa memandang suku, bangsa dan warna kulit agar dapat menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan terhindar dari mudharat masyarakat Islam. Sebagai mana Firman Allah dalam surah Al Hujurat ayat 13 :
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan prempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"
Peranan Siyasah Syar'iyyah dalam bernegara adalah mengatur hubungan antar ngara menurut syari'at. Setiap negara menjain relasi dengan negara lain serta untuk memenuhi national interest keduanya sehingga menimbulkan interaksi diantaranya. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan untuk mengatur interaksi serta hubungan antar negara yakni hukum internasional. Hukum Internasional tidak hanya membahas perihal ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar ngara. Oleh karena itu hubungan antar negara dibagi menjadi 2 (Widodo: 13) :
- Hubungan Antar Bangsa dan Negara dalam Dar as-Salam
Menurut Javid Iqbal, Dar As Salam adalah negara yang dikelola dan dipegang oleh umat islam, mayoritas penduduknya menganut agama Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai undang-undang karena kekuasaan mutlak berada pada Allah, sehingga Dar As Salam harus menjunjung tinggi supremasi hukum islam dan menjalankan ajaran islam serta pemerintahan dipimpin oleh seorang muslim (Iqbal: 211).
Dengan demikian maka penduduk negara dalam Dar As Salam dibedakan menjadi 3 golongan (Widodo: 13) :
- Muslim, war negara maupun orang asing yang menganut ajaran islam
- Dzimmi, seluruh warga Dar As Salam yang menganut agama ain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi bahkan yang tidak memiliki kepercayaan atau Atheis
- Musta'min yakni warga asing non muslim yang tinggal sementara untuk keperluan tertentu seperti berdagang, duta besar dan lainnya.
Bagi Muslim mendapat perlakuan sama seperti dalam ketentuan-ketentuan hukum Islam baik yang warga negara maupun warga asing. Sedangkan bagi golongan Dzimmi diharuskan melaksanakan dan mematuhi ketentuan hukum Islam yang berlaku sebagai perundang-undangan negara tanpa melihat keyakinan yang dianut kecuali dalam beberapa perkara seperti makanan, minuman, hukum keluarga dan lainnya. Dan mereka akan mendapatkan jaminan keselamatan jiwa dan harta yang dapat diperoleh dari keimanan dan keamanan (Iqbal: 212). Kemudian untuk Musta'min diharuskan tunduk dan patuh terhadap hukum perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut sesuai dengan isi perjanjian internasional antara dua negara maupun kedua belah pihak.
- Hubungan Antar bangsa dan Negara dalam Dar al Kuffar
Menurut Jumhur Ulama, Dar al Kuffar yakni semua negara yang tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam serta di dalam tatanan pemerintahan maupun hukum tidak menggunakan syariat sebagai landasan pelaksanaannya baik penduduknya islam maupun Islam (Widodo: 15).
Negara Dar al Kuffar dibedakan menjadi 2 kelompok yakni (Widodo: 15):
- Muslim yakni yang beragama Islam
- Non Muslim/ Kafir yakni yang menganut agama selain Islam
Penduduk non muslim yang menetap di Dar al Kuffar serta penduduk tetap dinamakan orang kafir Harbiyin dimana tidak terpelihara kehormatan, darah dan hartanya dan tidak terjamin kselamatannya dalam Dar As Salam sebelum adanya suatu perjanjian. Menurut Siyasah Syar'iyyah terpeliharanya sebuah kehormatan, darah dan harta bagi seseorang ditentukan oleh adanya keimanan dan keamanan (Hanafi: 93).
Adapun orang muslim yang bertempat dan menetap di negara bukan Islam dan tidak pindah ke negara muslim, maka menurut beberapa Imam seperti Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad memiliki kedudukan yang sama dngan penduduk muslim yang menetap di negara Islam karena Islam yang dimiliki. Apabila hendak masuk ke negara Islam maka diperlukan syarat-syarat tertntu seperti orang Musta'min. Akan tetapi menurut Abu Hanifah, orang Muslim yang menetap di negara bukan Islam mendapat jaminan keselamatan jiwa dan harta semta-mata karena Islam yang digenggam, tetapi karena terjaminnya negara Islam dan Ksatuan kaum Muslim, sedang di negara bukan Islam tidak memiliki pertahanan dan kekuatan. Akan tetapi hal ini sewaktu-waktu bisa memasuki negara Islam dan memperoleh jaminan keselamatan (Hanafi: 94).