Sejak Clara, adikku, meninggal dunia karena jantung yang lemah sejak lahir, membuatku hampir tak pernah absen menyambangi makamnya. Setiap sore menjelang senja, bahkan jika ibu tak menjemputku untuk pulang, aku akan tetap di sana, menemani jasadnya. Kuharap adikku tak sedih berada di dalam sana sendirian karena ada aku yang menjaganya.
Biasanya aku menggunakan sisa uang jajanku di sekolah untuk membeli bunga tabur untuknya. Tak jarang juga kupetik bunga -- bunga yang bermekaran di sepanjang jalan menuju makamnya. Kadangpula kucuri bunga tabur dari para pelayat di makam-makam yang lain lalu menaburkannya di atas tanah makam adikku. Itu gila dan konyol. Namun apa boleh buat? Yang penting Clara cantikku senang.
Namun itu dulu, sebelum aku menjadi seorang pengusaha sukses seperti saat ini. Sekarang aku punya banyak uang untuk membeli bunga. Walaupun aku sudah kaya, belum juga ada wanita yang mau kupinang untuk kujadikan istri karena fisikku yang sekarang. Jalanku bungkuk, bahkan teman-teman seringkali "membully". Mereka mengatakan aku seperti kakek-kakek, manusia yang gagal berevolusi, seperti kera dan lainnya. Aku tak mau ambil pusing dengan ucapan mereka.
Kini aku jarang menyambangi lahan pemakaman itu. Ibuku yang kini semakin renta selalu mengatakan "Akhirnya kau bisa menerima bahwa adikmu sudah bersama Tuhan sekarang. Dia sudah bahagia."
Iya, aku tak perlu lagi ke makam Clara. Dia sudah bahagia, tapi tidak bersama Tuhan. Dia bersamaku. Kugendong di punggungku. Clara bahagia, sangat bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H