Lihat ke Halaman Asli

Ajeng Leodita Anggarani

Mamanya Toby & Orlee

Rekam Medis Entah Kemana, Dokter Jutek Membuat Dilema

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1340076768838399376

[caption id="attachment_183490" align="aligncenter" width="500" caption="http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/04/07/jangan-takut-ke-dokter-jiwa/"][/caption]

Banyak orang yang mengeluhkan pelayanan di Rumah Sakit Pemerintah dengan bermacam alasan. Dan banyak orang yang akhirnya memilih Rumah Sakit swasta karena pelayanannya jauh lebih baik. Saya termasuk orang yang langganan keluar masuk RS sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Penyakit saya pun hanya seputar Gejala Typus, dan DBD. Jika dihitung kemungkinan setahun sekali saya check in di RS. Sampai rasanya kulit – kulit saya sudah kebal saat jarum infus ditusukkan di bawah kulit.

Saat ini saya sedang mengalami demam, dan sudah berjalan 9 (Sembilan) hari. Hari ketiga saya demam, mama menganjurkan saya ke RS Pemerintah terdekat dengan rumah. Sekedar informasi, saya tinggal di wilayah Rawamangun Jakarta Timur. Sekitar pukul 8 malam saya dan mama berangkat kesana. memang biasanya demam saya akan kambuh pada jam – jam malam. Rumah Sakit ini juga adalah tempat dimana saya biasa diopname waktu kecil. Jadi rasanya sudah seperti rumah sendiri.

Saya dan mama menuju ke meja registrasi / administrasi. Karena saya sempat tidak pernah ke RS tersebut selama 5 (lima) tahun kemungkinan rekam medis saya harus diganti yang baru. Maka kami pun diberikan map rekam medis baru.

Setelah itu saya dan mama langsung menuju ke ruang pemeriksaan. Saya sudah di tunggu oleh seorang dokter jaga laki – laki. Beliau sangat ramah, menanyakan keluhan dan lantas meminta saya berbaring untuk memeriksa tensi dan pengambilan darah.

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="koleksi pribadi"][/caption]

Setelah selesai diperiksa, saya dan mama menuju laboratorium dan menyerahkan 2 (dua) tabung sample darah saya. Kami menunggu kurang lebih 1 jam. Hasil pun keluar, kami lalu membawanya dan segera menyerahkan kembali pada dokter tersebut. Dokter tersebut mengatakan saya terkena gejala typus. Saya sudah tahu sebelum saya berangkat ke RS. Karena penyakit itu yang selalu menyerang saya. Jadi saya tidak kaget dengan apa yang dokter tersebut sampaikan. Namun saya tidak dianjurkan untuk opname, saya hanya diberi resep dan dianjurkan untuk beristirahat total. Saya juga diminta mengkonsumsi Hati karena HB saya sangat rendah. HB normal berkisar antara 12.0 – 16.0 sementara saya hanya 9.0. Akhirnya kami pun pamit sambil menyerahkan rekam medis pada bagian administrasi.

Saya dan mama pun pulang kerumah. Saya ikuti semua anjurannya. Tapi demam saya tak kunjung reda, disaat minum obat penurun panas justru saya malah mengalami keringat dingin yang tidak wajar. Suhu tubuh saya 38-39.

[caption id="" align="aligncenter" width="403" caption="Hasil Termometer saya"][/caption]

Maka 3 hari kemudian saya kembali lagi ke RS tersebut.

Sebelum melakukan pemeriksaan biasanya pasien menyerahkan kartu berobat ke bagian administrasi. Mama pun melakukan hal yang sama. Namun mama terkejut karena diminta untuk membuat rekam medis yang baru lagi. Dengan alasan rekam medis saya yang 3 (tiga) hari lalu baru dibuat ternyata hilang. Saya langsung berfikir, apa begini cara orang – orang pemerintahan bekerja. Rekam medis saja sampai bisa hilang. Padahal itu sangat penting untuk tahu riwayat peyakit si pasien. Akhirnya mama saya tidak mau membesar – besarkan masalah. Beliau menurut saja.

Saya dan mama pun kembali ke ruang pemeriksaan. Kali ini dokter jaganya wanita. Agak ketus dan pertanyaannya “muter-muter” . Berikut dialogue antara saya dan si dokter judes.

“Keluhannya apa?”

“Demam berhari – hari ga turun - turun, berkisar 38-39.”

“Ada diare, mimisan, gusi berdarah, atau muntah – muntah?”

“Nggak ada dok.”

“Sebelumnya sudah berobat disini?”

“3 hari yang lalu dok.”

“Di IGD atau poliklinik?”

“IGD.”

“Terus kemarin dokter jaganya bilang apa?”

“Katanya gejala typus” (sambil memberikan hasil lab sebelumnya)

“Terus dikasih obat apa?”

“Wah saya lupa dok namanya.”

“Ada mimisan, gusi berdarah, muntah, diare?”

“Nggak ada dok…”

“Terus dokternya yang kemarin bilang apa?”

“Belum butuh di opname, masih bisa pakai obat.”

“Kalau gitu sekarang buat apa anda kesini?”

Saya terkejut setengah mati mendengar pertanyaan gila tersebut. Dengan setengah marah saya mejawab,”Demam saya nggak turun – turun dok, apa saya harus nunggu koma dulu baru boleh berobat? Saya kesini kan bayar dok nggak gratis. Nggak pake asuransi, nggak pakai SKTM, kok bisa – bisanya dokter bilang begitu?”

Dokter tersebut tidak menjawab. Saya yakin ia pura – pura tidak mendengar. Emosi saya hampir tak bisa ditahan. Setelah itu ia langsung menyuruh saya berbaring dan saya harus mengulangi pemeriksaan seperti 3 hari lalu.

Setelah hasil lab kedua keluar tidak banyak perubahan. Justru HB saya semakin rendah saja. Anti S.H Paratyphi A, B, dan C positif. Tapi lagi – lagi keanehan terjadi, dokternya tidak paham kenapa HB saya turun. Ia memasang wajah kebingungan. Jika dia saja yang dokter bingung, apalagi saya? Dan anda tahu, dokter itu malah menganjurkan saya pulang. Jadi saya tidak mendapatkan jalan keluar apapun untuk penyakit saya.

Disini akhirnya saya bisa menilai, terkadang RS Pemerintah terkadang kurang cekatan dalam mengambil tindakan untuk pasien. Cara mereka berbicara dengan pasien pun terkadang kurang pantas. Pasien datang ke RS, klinik, pasti karena ia memiliki keluhan. Untuk pemerintah DKI, tolong di check kembali RS – RS yang ada di bawah pengelolaan anda. Terkadang pegawai pemerintah melakukan hal yang membuat pasien tidak  nyaman. Cacat pemerintah terkadang disebabkan oleh orang – orang yang dipekerjakan di dalamnya.

Salam Sehat




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline