http://gerryindrapratamaatje.blogspot.com/2011/06/yohanes-2011-18.html
Seringkali kita mendengar ada orangtua yang mengatakan “saya nggak mau anak saya kelak akan bernasib seperti saya”.
Maksudnya pasti bukan sebuah keberhasilan yang dicapai, itu pasti menunjuk pada kegagalan yang dialami oleh si orangtua. Siapapun orangtua pastilah berfikir demikian, harapannya adalah si buah hati nantinya akan tumbuh besar dengan segala sesuatu yang lebih baik. Hal ini sah – sah saja. Walaupun ada pepatah yang menyebutkan “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Ini pengalaman tetangga saya. Yang notabene ex-PSK (Pekerja Seks Komersial) dilingkungan rumah saya pekerjaan wanita ini (sebut saja namanya Cahaya) sudah menjadi rahasia umum. Cibiran, hinaan , cacian, kerapkali mengisi kesehariannya, namun ia seakan tidak peduli. Ia keluar rumah sekitar pukul 7 malam, dan kembali kerumah sebelum matahari terbit. Cahaya sudah pernah menikah. Ia memiliki 2 anak dari dua orang suami. Sebelum memiliki anak pun, Cahaya memang sudah menjadi seorang PSK. Dan perkawinannya biasanya terjadi karena “kebablasan”. Namun setelah dinikahi, Cahaya pun diceraikan. Begitu hingga dua kali terjadi. Kedua putrid Cahaya tak pernah tahu apa pekerjaan ibunya. Orangtua Cahaya pun hanya mengatakan pada kedua cucunya bahwa ibu mereka sedang mencari uang untuk makan. Lagipula usia mereka masih terlalu kecil untuk memahami apa itu PSK dan apapula pekerjaannya.
Usia semakin bertambah, Cahaya kini memiliki banyak saingan. PSK yang bermunculan jauh lebih muda, cantik dan segar, akhirnya Cahaya mulai mencari uang tambahan dengan bekerja sebagai wasit billiard yang lokasinya tak jauh dari rumah kami. Disana Cahaya berkenalan dengan seorang lelaki matang yang adalah Bandar judi bola, sebut saja namanya Deni. Waktu berlalu mereka pun menjadi sepasang kekasih. Sampai akhirnya Deni mengajak Cahaya untuk membina rumah tangga. Deni tahu bagaimana masa lalu Cahaya. Menurut Deni itu tak jadi masalah, karena ia hanya butuh seorang wanita yang akan mengurus anak – anaknya nanti.
Dan mereka pun menikah. Kedua putri Cahaya tidak pernah tahu darimana ibu mereka mengenal papa tirinya. Mereka hanya menerima keputusan ibunya untuk menikah lagi dan berjanji akan memberikan penghidupan yang layak. Cahaya juga seringkali memperingatkan pada suaminya jika jangan pernah membahas tentang masa lalu mereka di hadapan anak – anak.
Waktu terus berjalan. Cahaya pun melahirkan anak dari suami ketiganya itu. keuangan Cahaya membaik. Rumah mereka yang awalnya mengontrak kini berganti dengan sebuah rumah sederhana atas nama dirinya. Deni mampu memberikan apapun yan dibutuhkan Cahaya dan ketiga anak mereka. Kedua putri Cahaya tumbuh menjadi remaja yang cantik. Mereka sudah mengenal cinta monyet. Saat kedua putrinya sudah mulai besar, Cahaya sudah tak lagi bekerja. Karena semua sudah ditanggung oleh Deni. Jadi semakin sukses saja Cahaya menutup rapat kisahnya di masa lalu. Dan ia sepertinya sudah bisa tenang.
Namun pada suatu hari, anak sulungnya pulang kerumah dengan menagis sesenggukan. Cahaya yang sedang mengurus bayinya bingung. Ia bertanya,”kenapa kok nangis?”. Si anak diam menunduk dan semakin kencang menangisnya.
Cahaya bertanya sekali lagi,”kenapa nangis? Ayo bilang sama mama. Jangan begitu!”
Anaknya mengangkat wajahnya dan memandang ke arah Cahaya dan menatap mata Cahaya dengan tajam sambil berkata,”Tadi aku mau di cium sama pacarku. Aku nggak mau. Tapi dia bilang supaya aku jangan munafik. Karena mamaku dulu pelacur. Dan aku pasti tidak jauh berbeda dengan mama. Kenapa mama nggak pernah cerita ke aku? Kenapa aku harus tahu dari oranglain? Kalau aku tahu dari dulu, pasti aku nggak akan sekecewa ini ma. Mama pembohong!!”
Cahaya tak mampu menjawab. Dia hanya diam sambil menahan tangis. Ia tak menyangka, aib yang sudah ia jaga selama ini tercium juga oleh putrinya.
Dari kalimat si anak sulung Cahaya, kita bisa memahami, bahwa seburuk apapun masa lalu orangtua, si anak akan jauh lebih bisa menerima daripada harus mendengar dari orang lain. Karena akan jauh lebih memalukan. Jika anak kita tahu dari awal pastinya mentalnya akan jauh lebih siap.
Disini saya coba melemparkan pertanyaan pada pembaca sekalian, “Apakah kita harus membeberkan masa lalu kita pada anak ? Atau, “Apakah kita harus menutup rapat keburukan kita dimasa lalu pada anak dan membiarkannya mengetahui hal itu dari orang lain? Anda berhak menjawab dengan pola pikir masing – masing.
Tapi menurut pandangan saya, tidak semua perkiraan kita (orangtua) akan benar adanya. Ketakutan yang berlebihan pun akhirnya mampu menghancurkan mental anak kita. Walau bagaimanapun kondisi orangtua dimasa lalu, baik itu buruk atau tidak, si anak harusnya bisa menerima. Karena pasti ada alasan mengapa orangtua melakukan hal tersebut. Dan sebagai orangtua sudah sepatutnya juga tidak menyimpan bangkai dalam keluarga. Semoga ini bisa jadi pembelajaran untuk kita bersama. Jadikanlah masalalu sebagai pelajaran yang berharga untuk masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H