Lihat ke Halaman Asli

Ajeng Leodita Anggarani

Mamanya Toby & Orlee

Ayah Yang Keras : Makian dan Penyiksaan Fisik Dihalalkan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Google

[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Google"][/caption]

Selama ini apa pernah kita berfikir tentang dampak yang terjadi dari apa yang pernah kita sampaikan kepada orang lain? Sadarkah bila apapun yang kita sampaikan akan memberi efek kepada si penerima (baik positif / negative) ?

Kami mengangkat kasus dari seorang anak perempuan berusia 17 tahun yang sedang berjalan – jalan dengan kawan lelakinya, di sebuah Mall. Tiba – tiba ditarik paksa untuk pulang oleh sang ayah. Dijambak serta dimaki – maki di hadapan ratusan pengunjung Mall. Kebengisan sang ayah tak sampai disitu. Setelah sampai di rumah si anak gadis mendapatkan pula kekerasan fisik lain yang jauh lebih parah. Dipukul, di injak –injak, di tampar. Alhasil sang anak malah kabur dari rumah. Tak memberi kabar. Ponsel dimatikan. Dan membawa baju hanya seperlunya saja.

Kira – kira apa yang dirasakan si anak? Malu? Senang? Sedih? Bahagia? Apa itu adalah jalan keluar? Apa ada kepuasan tersendiri yang dirasakan orangtua jika sudah melihat anaknya terluka mental dan fisik? Apa tidak membayangkan hal yang jauh lebih buruk akan menimpa sang anak di luar sana?

Jangan merasa bangga jika anak merasa takut pada orangtua. Jika mereka hanya takut mendapat kekerasan. Bukan takut karena image orangtua yang memang harus dihormati.

Ketika seorang anak melakukan sebuah kesalahan, bukan jaminan mutlak bila letak kesalahannya ada pada si anak. Bisa jadi peran orang tua dari anak tersebut yang bermasalah. Atau mungkin saja, komunikasi antara anak dan orang tua sedikit bermasalah sehingga hal tersebut menimbulkan ketidaksinambungan dalam teritorial intern keluarga yang akhirnya membuat si anak melakukan kesalahan. Memang semua orang tua mengiginkan yang terbaik bagi sang anak. Hanya terkadang, cara penyampaian si orang tua ada yang salah. Dan terkadang pula si anak juga salah menafsirkan apa yang disampaikan oleh orangtua. Selama ini, sebagian besar orang tua kerap memberikan vonis bila dirinya dan apa yang disampaikan selalu mutlak kebenarannya. Sangat wajar dan sangat manusiawi memang. Tapi sebagai figure dari anak didiknya, orang tua seharusnya bisa bersikap bijak dan mau menyadari bila dirinya serta pola asuhnya “bermasalah”. Sadar atau tidak, bila 50% representasi sikap seorang anak termotorik oleh peran serta pola asuh sari sang orang tua. Mengingat didalam otak ada bagian yang disebut dengan Pre FRONTAL CONTEX (PFC) yaitu tempat dibuatnya moral, nilai-nilai tanggung jawab, perencanaan, pengaturan emosi, kontrol diri, serta pengambilan keputusan. Dan PFC biasanya matang di usia 25 tahun ke atas. Jadi bila ada anak yang melakukan kesalahan, jangan lantas di judge dengan berbagai tekanan yang cenderung frontal (Menegur dengan kalimat kasar/membentak, menghakimi sepihak dengan membabi buta, menghukum dengan membatasi ruang gerak si anak (mengekang), ataupun mengadili anak di depan umum) sebab hal tersebut tidak akan memberikan solusi, tapi malah akan membuat si anak menjadi pemberontak dan akan cenderung mendoktrin si anak untuk melakukan kesalahan -kesalahan baru sebagai bentuk expresi atas ketidak nyamanan terhadap tekanan yang ada.

Ada baiknya bila para orang tua mencoba untuk melakukan pendekatan yang lebih bersahabat. Tanyakan kepada si anak kenapa ia melakukan kesalahan tersebut? Apa yang mendasari ia melakukan hal tersebut. Tanya dan teruslah bertanya dengan penuh kehangatan dan pengertian, buat si anak nyaman dan tersadar melalui proses ‘pengadilan intern keluarga yang bijak’. Sebab seorang anak yang melakukan kesalahan, pada dasarnya tidak menyadari bila ia telah melakukan kesalahan. Oleh sebab itu mereka membutuhkan bimbingan dan pemahaman. Bukan penghakiman membabi buta. Di sinilah peran orang tua diuji mampukah si orang tua member bimbingan serta pemahaman lewat penyampaian yang bijak supaya penerimaan dari si anak tidak salah kaprah / salah arti (cara penyampaian yang baik, akan diterima dengan baik pula. Dan cara penyampaian yang buruk/salah, akan diterima dengan buruk pula) [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Google"][/caption]

Dalam hal ini, masalah komunikasi antara anak dan orang tua sangatlah berperan penting. Sebab jika komunikasi antara anak dan orang tua buruk/bermasalah. Kemungkinan besar, apapun yang akan tersampaikan akan diterima dengan cara serta sudut pandang yang salah

Dibanyak kesempatan dan kejadian, penulis kerap menjumpai buruknya komunikasi antara anak dan orang tuanya. Alhasil selalu saja ada selisih paham yang berujung ketidaksinambungan hubungan antara anak dan orang tua. Tapi jika komunikasi antara anak dan orang tua lancar, akan sangat kecil kemungkinan munculnya selisih paham ataupun masalah antara anak dan orang tua. Memang tak mudah menjadi orang tua bagi anak anak jaman modern seperti sekarang ini. Posisinya serba salah, salah langkah sedikit saja, akibatnya bisa fatal. Maka dari itu orang tua jaman sekarang benar-benar dituntut untuk lebih cerdas dalam mendidik serta mengatur pola asuh untuk anak anaknya. Sebab pondasi awal serta basic seorang anak berangkat dari apa yang diajarkan oleh orang tuanya, selebihnya tergantung dari si anak itu sendiri.

"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya"

Salam hangat :D

Kolaborasi Ajeng Leodita & Kacamata Awam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline