Lihat ke Halaman Asli

Berpikir Positif Saat Menulis

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_111690" align="alignleft" width="332" caption="H-5/Setahun Ngeblog di Kompasiana"][/caption] Selalu berpikir positif atau positive thinking, itulah salah satu tips agar  tulisan kita lebih mudah dimuat di media cetak.   Sebagai penulis tentu kita dituntut untuk bisa beropini yang sehat, cerdas, dan konstruktif, sehingga dapat memberi solusi dan pencerahan bagi tatanan kehidupan masyarakat. Salah satu tips menulis yang penulis lakukan, hendaknya tidak langsung apriori (buruk sangka) terhadap suatu kasus yang terjadi di masyarakat.  Dibalik sisi negatif, pasti tersembunyi aspek keunggulan berupa sisi manfaat yang bisa digali untuk mencerahkan publik.   Hal ini merupakan garapan yang dinilai menarik oleh Redaksi suatu media sehingga berkenan memuatnya. Sebagai  contoh tentang "Liburan Sekolah". Liburan long week end "identik"dengan acara santai-santaiataubermalas-malasan/mengganggurkan diri dan ajang pemborosananggaran rumah tangga.  Bila penulis bermindset negatif seperti itu, sulit artikel kita dimuat. Akan tetapi, bila sebuah liburan dimaknai positif seperti: (a) bermanfaat dalam mengendurkan ketegangan sehingga dengan relaksasi membuat semangat bekerja berlipat ganda; (b) merajut kehangatan dengan keluarga, suatu hal amat sulit dilakukan di masa sekarang ini; atau  (c) mengisi dengan liburan yang edukatif, bisa tempat tertentu seperti: outbon, menonton bioskop, ke lokasi wisata atau yang  murah meriah bagi anak-anak, seperti:   berkunjung ke lokasi petani atau industri kecil, bersih-bersih rumah  atau jogging bersama; tentu ini amat positif dalam memaknai liburan, sehingga faktor dana dan waktu berapa pun yang terpakai, tidak menjadi soal selama liburan memberi dimensi kualitas dan berkesan, bukan? Tips ini amat mujarab,  meski kupasannya berbahasa sederhana, tidak ilmiah banget, tetapi mampu membuat Redaksi Kompas memuatnya di media cetak,  1 Juli 2009. Klik  http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/06/09/memaknai-liburan Contoh kedua, permainan layang-layang. Bila yang digali hanya bayangan kecemasan dan kekhawatiran bahayanya anak terperosok, tertabrak atau tersengat aliran listrik, dan menganggap permainan layang-layang tidak dibutuhkan lagi oleh  anak-anak generasi sekarang, media cetak sulit menempatkan artikel bertema seperti  ini. Tetapi bila dimaknai secara positif, seperti: Permainan layang-layang,  sesungguhnya melatih fisik anak  lebih tangkas dan lincah dengan  berlari dan mengejar layang-layang putus.  Ini amat berguna untuk mereduksi gejala penyakit hipokinetik, timbul akibat gaya hidup statis tren anak-anak masa kini.   Begitu pun nilai-nilai kolektivitas pun di kalangan sebaya  terbangun seperti:  menghormati aturan di kalangan mereka, menghukum yang berbuat curang,  dan sikap kebersamaan lain, seperti: ikut memasangkan tali timba, membantu membawa golongan benang, atau tukar-menukar gelasan, dan lain-lain. Sedangkan bermain di ruang terbuka, anak-anak leluasa untuk berteriak secara spontan, selain berguna  melekatkan jiwa korsa  secara emosional, juga menjadi  sarana  interaksi sosial, pelega emosi dan penyingkap bawah sadar mereka mengeluarkan unek-unek hatinya.  Pendeknya, mereka bisa menikmati masa anak-anak dengan suka cita.  Dan pemberian solusi bijak bagi mereka dibutuhkan agar hobi mereka tidak tersumbat, permainan tetap bisa dinikmati tanpa  membahayakan dirinya. Artikel  sederhana di atas dapat  ditayangkan di media  Kompas, 15 Nov 2008.  (klik http://kompasajka.blogspot.com/2009/03/ngadu-langlayangan-permainan-penuh.html) . Satu lagi, pada  kasus sering dijumpai rutinis kehidupan yakni  sebut saja Hari Raya kurban.  Biasanya hampir semua warga mendapat bagian jatah kurban sehingga pedagang daging sapi atau domba harus beristirahat satu atau dua hari.  Bila ditinjau secara ekonomis tentu merugikan, namun bila ditinjau dari makna psikologis, justru anugrah kemurahan Allah SWT bagi keluarga pedagang daging  untuk menikmati kehangatan mentari pagi bersama anak-anak dan tetangganya (sesuatu yang langka) atau merencanakan mudik ke kampung halaman beberapa saat tanpa perlu dibayangi oleh kehilangan  langganan.   Berbeda dengan Idul Fitri, di masa itu pedagang daging tidak bisa istirahat, karena sedang "marema" diserbu pelanggan, bukan? Yuk, berpikir positif atau husnudzon billah, karena Alloh bersama persangkaan hambanya, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline