Lihat ke Halaman Asli

Photograph

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


“Her name was written on a photograph, Right next to her red,sun burnt face, It all had happened in that long tall grass, About a mile from her old place” –Jamie Culumn- Photograph-

Foto Lastri selalu tersimpan di saku baju seragam bagian kiri Joko.  Biar dekat dengan jantung, katanya setiap kali Bayu sahabat sesama pelautnya bertanya alasan kebiasaannya itu. Foto itu seukuran lembaran kartu pos. Foto satu-satunya, yang diberikan Lastri malam sebelum dia berangkat melaut.

“Mengapa kau ingin menjadi pelaut, Joko?” Tanya Lastri pada saat malam sebelum Joko berlayar. Bulan sabit bertengger di langit di luar jendela Kamar Lastri. Angin malam berhembus menerpa kulit mereka yang telanjang.

“Aku mencintai laut dan sejak kecil aku ingin menjadi pelaut.” Jawab Joko.

“Masa hanya karena kau mencitai laut, maka  kau menjadi pelaut. Kalau begitu jadilah suamiku. Kau mencintaiku kan?”  Ujar Lastri. Dia menatap tajam mata Joko. Joko cepat-cepat  mengalihkan pandanganya keluar jendela, menatap bayangan hitam di wajah bulan sabit. Joko tak mampu menjawab pertanyaan Lastri. Dia selalu resah setiap kali Lastri meminta dia menikahinya. Sungguh, Joko mencintai perempuan itu. tetapi  dia juga mencintai laut. Menjadi pelaut adalah cita-citanya sejak kecil. Dia mencintai Lastri dan ingin menjadi suami Lastri tetapi tidak sekarang.

“Kenapa kau selalu menghindari tatapanku jika aku memintamu  menikahiku, Joko. Apakah kau tidak mencintaiku?” Suara Lastri terdengar lirih. Perempuan itu terluka ketika Joko tidak memilih membalas tatapan matanya. Hati Joko mencair. Dia berbalik menatap Lastri, meraih perempuan itu dalam pelukannya.

“Aku sangat mencintaimu, Lastri. Demi Tuhan aku sangat mencintaimu. Aku sungguh ingin menjadi suamimu tetapi tidak sekarang. Biarkan aku berlayar. Aku  akan kembali lagi kepadamu setahun lagi. Aku janji saat itu aku akan datang dan melamarmu dengan cincin permata terindah di dunia. Kumohon jangan membuatku memilih antara menjadi pelaut atau menjadi istrimu. Aku tidak bisa memilih.” Kata Joko di sela-sela pelukannya. Dia mempererat pelukannya dan mencium kepala Lastri  lembut.

“Maafkan aku. Aku juga mencintaimu. Maafkan aku yang egois. Pergilah menjadi pelaut dan kembali lagi padaku dengan cincin permata termahal.” Ujar Lastri. Joko tersenyum dan mengecup bibir kekasihnya dalam.

“Aku mencintaimu, Lastri”

“Aku juga mencintaimu, Joko.” Mereka bertatapan lama, lalu Lastri bangkit dari tempat tidur, membuka laci  di sebelah tempat tidur, meraih selembar foto dan memberikanya kepada Joko.

“Aku ingin kau menyimpan ini.” Ujar Lastri. Joko menerima foto itu dengan senang. Di foto itu tampak lastri sedang duduk di lapangan berumput. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai membigkai wajahnya ovalnya yang kecoklatan. Mata coklat tanahnya bercahaya memandang kamera, bibirnya yang semakin penuh dipoles lipstick merah tersenyum manis menampakan gigi-giginya yang putih seperti mutiara.

“Kau cantik sekali di foto ini.” Joko berkata kagum.

“Simpan foto ini dan selalu ingat aku. Jangan pernah tergoda untuk mencicipi gadis lain selain aku.” Kata Lastri yang dibalas ciuman lama dari Joko.

Sudah enam bulan berlalu sejak kejadian itu, dan Joko masih terus mengingatnya. Bulan purnama bertengger di langit malam yang kelabu, menerangi Joko yang tengah terduduk di kabin kapal. Mataya memandang jauh ke arah laut lepas. Dia mendekap kedua tanganya di dada. Merasakan Foto Lastri di saku kirinya dan merakasan Lastri yang tak pernah pergi dari jantungnya, Ah Lastri, andai kau tahu betapa merindukanmu membuatku gila, bisiknya lirih. Kapal yang membawa mereka berlayar telah sampai di lautan Pasifik. Kapten kapal berkata meraka akan mendarat di pelabuhan di Hongkong tiga hari lagi. Dada Joko bergejolak. Tiga hari lagi dia akan menelpon Lastri dari Hongkong.

“Di sini rupanya kau, Kamerad.” Seseorang tiba-tiba muncul dari arah belakang Joko. Joko menoleh, sahabatnya  Bayu melangkah perlahan menuju ke arahnya duduk. Begitu mendekat Bayu duduk di samping Joko.

“Ada apa? Kenapa kau murung begitu? Masih memikirkan kekasihmu itu?” Tanya Bayu. Joko hanya tersenyum. Senyuman yang berarti ya bagi pertanyaan Bayu. Bayu tertawa.

“Ahh, Joko kalau aku jadi perempuan aku mau punya kekasih macam kau. Benar-benar setia. Spesias langkah . Enam bulan tanpa pelukan perempuan. Benar-benar rekor. Aku sudah lama menjadi pelaut Joko setahun lebih dulu dari kau. Dan lihat aku sudah meniduri banyak peremuan dari banyak negara.” Ujar Bayu menepuk-nepuk bahu Joko keras.

“Ahh itu karena kau tak pernah jatuh cinta, Bayu. Aku mencintai Lastri dan telah berjanji tidak akan mencicipi perempuan lain selama berlayar.” Kata Joko. Bayu kembali tertawa kali ini lebih keras.

“Ahhh, kita lihat saja siapa yang mempu bertahan. Kau atau Lastrimu itu. Kita ini pelaut Joko. Berlayar mengelilingi dunia. Jarang bisa berkomunikasi dan saling memberi kabar dengan mereka. Perempuan itu adalah mahluk yang jatuh cinta pada suara. Kau pikir mengapa penyair itu dicintai perempuan? Karena meraka pandai merangkai kata, menjadikannya puisi dan membuat perempuan jatuh cinta mendengar meraka membaca puisi-puisi itu. Kau Joko, sudah tiga bulan sejak terakhir kali kau menelpon Lastri saat kita di Malasya itu kan. Aku yakin sekarang Lastri telah menemukan suara lain yang mebuat dia jatuh cinta.” Kata Bayu lagi. Joko tersenyum.

“Aku mengenal Lastri. Aku percaya padanya.” Katanya mantap. Bayu mengeleng-geelengkan kepala.

“Perempuan itu mahluk penuh misteri. Jangan pernah kau coba untuk mengenal mereka. Semakin kau mengenal meraka, semakin kau tidak mengerti jalan pikiran meraka”  Kata Bayu lagi. Joko terdiam, dia mulai jengah dengan pembicaaran Bayu.

“Ahh sudahlah Bayu. Kau sebaiknya jangan berteori tentang perempuan terus. Mending kau memikirkan istrimu di rumah sana.” Kata Joko akhirnya. Bayu kembali tertawa.

“Laki-laki itu ditakdirkan untuk mencintai satu wanita,” dia menunjuk kearah jantungnya. “tetapi ditakdirkan untuk memiliki banyak wanita.” Dia menunjukan selangkanganya.  Joko menggelengkan kepala. Temanya ini memang play boy cap ikan hiu.

“Ahh! Kau memang pemuda setia, Joko. Beruntung sekali Lastri memiliki pria sepertimu.” Kata Bayu akhirnya. Joko terdiam lama, dia kembali memegang foto Lastri di saku bagian kirinya. Dalam hati dia bertekad menelpon Latri ketika kapal mereka bersandar di pelabuhan.

Keesokan harinya, hal pertama yang dilakukan Joko begitu mereka sampai di hotel di Hongkong adalah menelpon Lastri. Dia merasakan debaran jantungnya semakin kencang saat nada sambung terdengar. Joko hamper gila menahan kerinduan terhadap Lastri.

“Halo.” Suara Lastri yang dirindukanya terdengar dari seberang sana.

“Halo Lastri. Ini aku Joko. Aku merindukanmu sayangku.” Dia berkata semangat.

“Ahh Joko apa kabar?” Suara Lastri terdengar tidak bersemangat. Joko tiba-tiba merasa was-was..

“Kenapa Lastri? Apakah kau sakit?”

“Ahh tidak. Joko ada yang ingin kau bicarakan.” Kata Lastri kemudian. Joko semakin was-was. Orang terkahir yang mengatakan kalimat itu adalah ibunya  saat dia duduk di bangku SMP. Saat itu ibunya tahu Joko menyembunyikan majalah porno di kamarnya.


“Ada apa?” Tanya Joko

“Aku bertemu orang lain Joko. Aku mencintai orang lain. Maafkan aku. Aku ingin kita berpisah.” Suara Lastri terdengar bagai petir di siang bolong. Astaga, apakah dia bermimpi?

“Lastri apa yang kau katakana? Aku mencintaimu. Kau bilang akan sabar menungguku. Aku akan menikahimu ketika aku kembali setahun lagi. “ Joko berkata panik.

“Aku tak bisa Joko. Aku sengsara. Tiga bulan aku tak mendegar kabar dan suaramu. Itu membunuhku. Aku tak ingin menyiksa diri lagi. Carilah perempuan lain yang lebih baik dariku.” Suara Lastri terdengar semakin jauh. Joko terdiam. Dia merasakan sakit mengalir melalui pembuluh nadinya. Mengalir terus hingga ke otak lalu ke jantung  lalu ke hati dan seluruh tubuhnya. Seluruh tubuhnya kesakitan.

“Joko maafkan aku.” Lastri berkata lirih. Di seberang sana dia menangis. Joko tetap diam.

“Joko, aku ingin kau mengirim kembali foto yan kuberikan untukmu. Aku tidak ingin kau meyimpannya. Bisakah kau tolong kirimkan foto itu?” Perkataan Lastri kembali membuat Joko tertegun. Astaga, ternyata Lastri tidak ingin dia mencintainya lagi, tidak ingin meninggalkan bekas apa-apa padanya lagi.

“Baiklah akan kukirimkan.” Kata Joko. Suaranya terdengar seperti lirihan. Malam itu dia menghabiskan waktu di bar. Menghabiskan berbotol-botol Whiskey. Alkohol mungkin tidak memecahkan masalah tetapi  bisa membuat dia lupa akan masalahnya sejenak.

“Maafkan aku Joko. Perkataan aku tempo hari di kapal. Sama sekali tak bermaksud apa-apa.” Bayu yang menemaninya minum-minum mencoba menghibur.

“Tak apa, Sobat. Tahukah kau apa yang lebih parah?  Lastri tak ingin aku menyimpan fotonya. Dia memintaku mengirimkan fotonya itu kembali padanya.” Kata Joko. Bayu mengerutkan keningnya.

“Ahh aku punya ide baik untuk membalas sakit hatimu.” Katanya kemudian. Joko menatapnya.

“Apa?” tanyanya.

“Aku butuh kamera.” Bayu menyeringgai

***

Waktu berlalu begitu cepat tanpa sadar dua bulan berlalu sejak Lastri memutuskan hubungannya dengan Joko. Ahh tidak gentle memang memutuskan hubungan lewat telpon tetapi dia merasa hubungan mereka harus berakhir secepatnya. Apakah Joko akan mengirimkan fotonya kembali? Lastri bertanya-tanya. Sesungguhnya Lastri tidak ingin Joko menyimpan fotonya itu. Foto itu akan selalu membuat Joko mengingat kepadanya. Lastri hanya ingin membuat keadaan jadi lebih baik. Bila Joko terus menyimpan fotonya, Joko akan susah melupakanya. Ini yang terbaik bagi kita, Joko. Bisiknya lirih.

“Kakak ada kirimin untukmu.” Latip adiknya tiba-tiba muncul membawakan sebuah bungkusan. Lastri meraih bungkusan itu dan melihat siapa pengimnya. Pengirim bingkisan itu adalah Joko. Lastri penasaran. Bungkusan itu pastilah berisi selembar fotonya tetapi mengapa begitu berat dan tebal? Dia segera membuka bingkisan itu dan terkaget. Ada ratusan foto perempuan cantik di dalam bingkisan itu.

“Apa yang dipikirkan, Joko?” Dia berkata geram. Tiba-tiba matanya melihat sebuah surat. Dibukanya surat itu. Ada tulisan tangan Joko di sana.


“Lastri yang baik, aku sudah lupa foto kamu yang mana. Pilihlah sendiri fotomu dari antara foto-foto perempuan koleksiku ini. Setalah kau temukan fotomu, kirimkan kembali foto-foto ini kepadaku atau kalau tak punya waktu untuk mengirim, silahkan kau buang foto ini. Toh mereka semua tak berarti hanya selembar foto”

Salam

Joko

-Tamat-

Perpustakaan Pusat, 30 Maret 2012. 4:43PM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline