Lihat ke Halaman Asli

Cinta-Kasih

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

CINTA-KASIH*

Ahmad Jauhari

Apa yang tertancap di kedalaman batin kita, bila terucap kata cinta? Pada dasarnya, suatu kata memuat kandungan mantra. Dalam istilah Jawa, meminjam ungkapan Imron Jamil, muni iku mowone karep. Mowo itu bermakna bara atau nyawa. Artinya, muni (ungkapan) itu merupakan nyawa dari kehendak (Jawa: karep atau kekarepan). Dan, manusia itu disebut masih hidup bila punya kehendak. Maknanya, bunyi suatu kata itu mengandung unsur kehendak. Karenanya, kata atau ungkapan itu memuat unsur kehendak, atau energi yang mencuat dari kedalaman batin manusia.

Termasuk dalam konteks ini, ungkapan atau bahasa cinta. Pertama-mata, ungkapan cinta dimulai oleh rasa, suka, dan cita. Ia tiada pernah memaksa. Bahkan, dalam istilah agama pun, juga tidak mengenal kata memaksa. Bila ada insan yang mengaku beragama, namun tindakannya punya kecenderungan memaksa, itu bisa dipastikan bukanlah bahasa agama. Sebab, semua agama punya nada dasar kata yang sama, yakni kata cinta dan ungkapan cinta.

Julia Kristeva, pada tahun 1987, pernah menulis buku yang berjudul menarik, In the Beginning was Love. Pada mulanya itu cinta. Ya, kiranya ini ungkapan yang menggetarkan. Bila hidup dan kehidupan manusia berpijak pada aktivitas cinta, kehidupan akan senantiasa mencerahkan dan membahagiakan. Namun, apakah kehidupan yang kita jalani dan renungkan setiap hari, telah sungguh memasuki pintu gerbang cinta? Muncullah di sini terbersit pertanyaan. Apa itu yang dinamakan cinta.

Cinta, apakah itu?

Gerbang awal memasuki problematika cinta adalah menyangkut istilah rasa, suka dan cita. Menyangkut soal rasa, kata hanya punya ruang menuangkannya. Tentu saja, mengungkapkan dan menuangkan suatu hal (dalam hal ini soal cinta) lebih terbatas daripada yang dituangkan. Karenanya, bila saya mencoba menyederhanakan, cinta itu mengandung pelbagai unsur, yakni unsur rasa, unsur suka, dan unsur cita.

Pertama, yakni unsur rasa atau jalinan rasa. Dalam khazanah kebudayaan Jawa, bila saya memakai epistemologi dari pujangga Jawa, yakni Ronggowasito (ia disebut nama kecil sebagai Burhan), aspek rasa (Jawa: roso), merupakan unsur dasar di dalam menangkap kehendak-Nya sebagai petunjuk menjalani keseharian hidup. Maka, di dalam kebudayaan Jawa, dikenal dengan istilah olah roso. Maknanya, dari ketajaman mengolah apa yang terbersit di kedalaman batin, manusia akan dituntun hidupnya pada kebahagiaan setiap saat.

Kedua, unsur cinta adalah suka. Istilah 'suka' di sini bukan dalam pengertian mengumbar keinginan semaunya, melainkan 'suka' dalam makna keceriaan yang muncul dari kemampuan mengolah rasa yang terbit di dasar batin manusia. Suatu aktivitas bila didasari oleh rasa suka, maka yang muncul adalah kreativitas yang jauh dari banalitas. Begitulah juga rasa cinta. Ia akan juga punya irisan dengan rasa suka. Energi seseorang akan melimpah-ruah, bila nada dasar tindakannya ditimba dari sumur kedalaman rasa suka yang berdasar di entah. Agak sedikit aneh memang. Ya, begitulah, bila rasa suka itu diungkapkan. Rasa suka itu berdasar di entah, sebab memang (sekali lagi) rasa suka bila terungkap, hakikatnya bukanlah rasa suka, melainkan ia adalah manifestasinya saja. Sehingga, kini menjadi jelas, bahwa cinta itu selalu enigmatik dan selalu tak pernah membosankan untuk ditimba maknanya. Berabad-abad, kata cinta selalu menarik perhatian manusia untuk terus mencecap maknanya dan kesegaran baru yang dituangkan olehnya.

Di dalam rasa suka juga terselip ungkapan kasih. Kecenderungan rasa suka itu punya jalinan aktivitas yang bernama kasih. Artinya, suka itu memungkinkan orang berlaku kasih. Nah, soal yang muncul adalah kasihnya itu untuk siapa? Di sinilah problem cinta itu kian rumit bila tidak diberikan garis batas makna antara cinta-diri dan cinta-'murni'. Istilah murni dalam arti kehendak rasa cinta yang melampaui ke-diri-an, bukan mengarah pada kebutaan melihat realitas. Maka, Anthony de Mello, mengatakan bahwa cinta itu adalah melihat realitas apa adanya, bukan sebagaimana aku (diri) melihatnya.

Ketiga, adalah cinta punya unsur cita. Pengharapan itu yang saya maksudkan dengan istilah cita. Seseorang masih bisa disebut sungguh-sungguh hidup, bergairah, dan berbahagia bila ia punya cita. Nah, soal yang muncul adalah cita macam apa yang dikategorikan sebagai bagian dari unsur cinta? Bukankah seringkali kita mempunyai tujuan tertentu, lantas berharap terwujudnya pengharapan tersebut, namun kenyataannya tidak sesuai dengan yang ditetapkan, muncullah kekecewaan?

Nah, mari kita kupas bersama. Manusia punya kecenderungan untuk berharap kepada apa yang direncanakan dan apa yang dikerjakan, untuk mewujudkan perencanaannya tersebut. Berharap kepada rencana dan usahanya, terdapat atau mengandung logika yang bengkok. Pertama, yang disebut rencana bukanlah kenyataan itu sendiri. Ia merupakan gambaran pikiran atas realitas. Yang namanya gambaran, bukanlah kenyataan yang sesungguhnya. Ia bukanlah realitasnya itu sendiri. Ibarat peta tentang Yogyakarta. Peta Yogyakarta bukanlah Yogyakarta. Ia hanyalah gambaran tentang Yogyakarta. Peta Yogyakarta dan Yogyakarta adalah dua kenyataan yang berbeda. Begitulah juga, akan tertipulah atau akan kecewa, bila kita berharap kepada perencanaan. Kedua, yang dinamakan upaya atau usaha merupakan kenyataan yang berbeda dengan fakta tentang perencanaan. Artinya, kedua hal tersebut (rencana dan upaya) hakikatnya adalah realitas yang kosong. Bila kekosongan, kita jadikan pegangan, maka yang timbul adalah kekecewaan.

Lantas, bagaimana menempatkan posisi rencana dan usaha pada porsinya yang tepat? Memang, kehendak membuat rencana merupakan fakta yang meski dilakukan di dalam hidup. Namun, bukan dalam motivasi untuk mewujudkan keinginan atas perencanaan tersebut, melainkan dalam nada dasar mendayagunakan potensi nalar semaksimal mungkin, demi meminimalisir kecerobohan di dalam melangkah menempuh hidup. Juga, usaha atau berupaya bukan demi keinginan kita mewujudkan rencana kita, melainkan dengan motivasi mensyukuri nikmat-Nya, yakni nikmat mempunyai kehendak untuk berupaya menebar kasih-sayang-Nya bagi semua makhluk-Nya. Sebab bila penetapan tujuan dan kehendak serta usaha/upayanya, itu diandaikan muncul dari diri kita, di situlah sumur dan sumber dasar dari kekecewaan. Lalu, bentuk pengharapan atau cita macam apa yang terlepas dari kekecewaan? Dan, kepada siapa pengharapan itu terlepas dari unsur kemalangan?

Maka, jawaban yang bila diberikan adalah cita dalam bentuk cinta kepada yang Tak Terbatas. Atau memakai istilah agama, hanya dengan mencintai-Nya, merupakan sumber kebahagiaan tiada habis terkuras, sehingga terlampauinya rasa kekecewaan dan kemalangan di dalam perjalanan hidup ini. Kekecewaan itu muncul bila orang terseret kepada ‘kesadaran’ akan diri. Nah, bila seseorang kesadarannya selalu terarah dan tertuju kepada-Nya, maka lenyaplah diri. Yang ada dan senantiasa muncul adalah diri-Nya bukan lagi diriku. Nah, dari situlah hakikat dari cinta yang terus-menerus menyemburkan energi yang tiada habis terkuras.

Sebagai penutup, beberapa pekan yang lalu, di Prancis terjadi serangan brutal oleh kaum ekstrimis terhadap para kartunis dan punggawa redaktur majalah Charlie Hebdo, yang berpusat di kota Paris. Serangan brutal itu menewaskan 12 orang. Tindakan biadab itu bukanlah cermin perilaku orang beragama. Artinya, bila nada dasar orang beragama itu adalah rasa cinta kepada sesama bahkan kepada semua makhluk-Nya, tentu saja bukan serangan brutal itu yang dilakukan. Maka, memang macetnya ekspresi rasa cinta kepada kemanusiaan itulah yang disebut kebencian.

Dalam hal ini, saya memang tidak setuju tindakan biadab, kaum ekstrimis membunuh para kartunis majalah Charlie Hebdo. Namun, tindakan brutal kepolisian (pemerintah) Prancis, menembak mati mereka, itu juga melawan nurani kemanusiaan. Sebab, kebencian terhadap ekstrimis merupakan sikap ekstrimisme dalam wujud yang lain. Cinta akan ‘melumat’ habis sikap benci. Sebab kita semua adalah makhluk-Nya. Semua makhluk-Nya itu dicintai oleh-Nya. Semestinya, kita sebagai makhluk-Nya, meniru perilaku-Nya. Dan, hakikatnya, engkau itu aku, dalam wujud yang lain. Wa Allahu ‘alam. (***)

*Dimuat di Majalah PRABA (Tahun 66-No. 03- Februari-1-2015; hlm. 38-39)


Top of Form

Bottom of Form

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline