ODP & MO
Sarjana ialah manusia yang telah menamatkan studi strata satu. Kertas ya kertas. Apaan sih? Mood Pembaca sudah sayup-sayup karena gagyang garing di awal tulisan Penulis. Boks ini dinspirasi oleh dua hal. Pertama, tulisan Rhenald Kasali yang menggambarkan seperti apa Sarjana Kertas dan kedua, sedikit kesamaan Penulis dengan label Sarjana Kertas tersebut.
Sebelum Penulis menguliahi Pembaca mengenai apa itu Sarjana Kertas, Penulis akan bercerita mengenai lapangan pekerjaan dewasa ini dimana instansi, institusi, dan khususnya perusahan-perusahan swasta yang memiliki disiplin tinggi atau etos kerja yang baik “masih” mencari tenaga kerja dengan kategori Official Development Program (ODP) dan Management Trainee(MO) yang berarti instansi, institusi, dan perusahaan-perusahaan tersebut masih ingin “menempa” para fresh graduateatau dengan bahasa yang lebih kasarnya instansi, institusi, dan perusahaan-perusahaan tersebut tidak atau belum percaya kalau para fresh graduate ini siap bekerja. Ya, karena prinsip ODP dan MO itu sama, yakni memberi kesempatan sekaligus evaluasi apakah “Anda” sumber daya manusia yang bisa diajak kerja sama (Are you good for business?).
Pengalaman Memang Mahal
Sebagai seorang yang masih belajar untuk menjadi seorang cendekia, Penulis bertanya pada batin, apa yang salah dengan sistem Perguruan Tinggi kita? Jawabannya kurikulumnya tidak bersambungan dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Contoh konkretnya adalah Penulis sendiri. Hampir satu tahun menjadi seorang Sarjana dari FKIP jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Penulis merasa bahwa selama menjadi mahasiswa kurang dibekali dengan pengalaman riil di lapangan.
Sebagai catatan, kurang lebih lima tahun Penulis menimba ilmu dan sudah mulai menemukan jati diri Penulis di ujung masa kelulusan (wisuda), Penulis hanya merasakan tiga bulan menjadi guru magang di mata kuliah Pengalaman Praktik Lapangan (PPL). Tiga bulan dari waktu kuliah yang rata-rata empat tahun itu terbilang sedikit, sangat sedikit. Penulis terus diisi kepalanya lewat materi dan materi ajar. Seharusnya para Elit Pendidikan yang memformulasikan Kurikulum Pendidikan Perguruan Tinggi lebih paham akan ungkapan yang terungkap-ungkap, “Tell me, I may forget. Teach me, I may remember. And involve me, I may learn.”
Penulis mengulang perihal hal tiga bulan karena saking kesalnya dengan pengalaman yang begitu sebentar, padahal di sana Penulis dan praktikan lainnya bisa belajar hal lebih banyak lagi. Begini kalau diibaratkan, ya karena Penulis jago dalam hal beribarat. Bayangkan Pembaca menikah dengan pasangan Pembaca, tanpa proses pengenalan khususnya pendewasaan, tanpa berantem, tanpa hari diem-dieman, tanpa hari saling membuat cemburu, tanpa hari yang terasa begitu lama dimana harus berhemat supaya dapat membeli kado, dan tanpa-tanpa lainnya. Ya, kurang lebih seperti itu. Tidak asyik!
Moral Hazard
Kondisi di atas diperparah dengan mental sosial lingkungan kita yang mengidolakan gelar. Jadi, di lingkungan yang bermental seperti itu, ketika Penulis sudah menjadi seperti ini, Prof. Ajar Alamsyah, Ph.D., Penulis sudah dianggap sebagai Dewa oleh mereka, tanpa dilihat rekam jejaknya, apa prestasinya, apa saja karyanya, dan tentu bagaimana gaya hidupnya yang menentukan derajat seorang pria. Jadi jangan heran jika ada yang berkampanye Politik dengan memajang gelar akademik yang begitu blink-blink. Karena mental yang tidak jauh seperti itu pula, niat melanjutkan studi pun juga bisa sekadar untuk naik jabatan.
Jangan pula melupakan sistem yang mengsyaratkan apa yang ada di atas kertas ketimbang kecakapan yang biasanya tidak terlihat di atas kertas. Coba Pembaca googling dengan keywordsjual beli ijazah, Pembaca akan menemukan apa yang Penulis tidak perlu jelaskan lagi. Begitulah yang Penulis maksud dengan Sarjana Kertas ia dengan culas membeli gelar atau ia memang menyelesaikan studi tetapi tidak dapat apa-apa, ia hanya menghabiskan kertas untuk kuliah. Beruntung Penulis sadar akan kekurangan-kekurangan Penulis yang bila didiamkan akan pula membuat Penulis menjadi seorang Sarjana Kertas. Berikut kesalahan-kesalah Penulis yang tidak Penulis diamkan.
Pertama, niat Penulis waktu itu hanya mengejar nilai. Bahkan sebelum awal kuliah Penulis paham betul apa itu bedanya Cumlaude dan Summa-Cumlaude.