Lihat ke Halaman Asli

VUCA

Diperbarui: 9 Maret 2016   08:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Zaman Edan

Banyak peristiwa yang kita dengar. Baik lewat obrolan di warung kopi maupun yang kita tahu lewat acara berita stasiun televisi  yang lebih berimbang membuat kita geleng-geleng kepala. Mulai dari kasus pedofilia, secangkir kopi beracun, orang tua kandung yang menyakiti buah hatinya sendiri bahkan sampai membunuhnya, tersangka KPK yang balutan dari kepala sampai kakinya bernuansa syar’i, sampai klisenya sebagian besar acara di televisi, bahkan di jam-jam prime time. Dari mulut kita pun keluar pernyataan bahwa zaman ini sudah tua, sudah akan tutup buku. Kalau dalam kalimat informalnya zaman ini zaman edan. Peristiwa yang terjadi sudah di luar nalar sehat manusia. Penulis ingin bertanya kepada Pembaca. Apakah Pembaca yakin bahwa zaman ini zaman edan atau dalam bahasa yang lebih kerennya the edge of chaos? Zaman dimana kiamat sudah seakan sedekat gunung yang terlihat sebesar kepalan tangan kita. Kalau Pembaca mengiyakan, Penulis tidak sepakat. Karena Penulis percaya, jika kita bagikan manusia menjadi dua tipe. Baik dan jahat. Nah, manusia paling baik dan paling jahat itu ceritanya sudah ada di Al-Quran. Jadi zaman dululah yang mempunyai cerita “edan” yang sudah dituliskan di kitab suci umat Islam itu. Jika ada orang baik, orang tersebut tidak akan melebihi kesalehan para Ulul Azmi beserta para sahabatnya. Dan manusia paling kejam bukanlah Adolf Hitler apalagi Dukun AS (dibaca A Es). Penulis lebih suka dengan pandangan yang cenderung konservatif. Seperti yang dituliskan Johansen dalam bukunya “Leaders Make the Future” (2012). Johansen menuliskan bahwa zaman ini disebut VUCA.

VUCA terdiri dari V untuk Volatility berarti bergejolak, berubah-ubah. U untuk Uncertainty berarti ketidakpastian. C untuk Complexity berarti saling berhubungan, saling tergantung, rumit. A untuk Ambiguity berarti menimbulkan keraguan.

V untuk Volatility berarti bergejolak, berubah-ubah. Ada dua tipe manusia yang harus kita jauhi. Pertama, orang yang tidak mau berubah. Dan kedua, orang yang selalu berubah-ubah. “Nah loh, Volatility kan bergejolak dan berubah-ubah jadi kita pun harus selalu berubah-ubah lah,” Ketus Pembaca. Selalu berubah-ubah disini berarti ia tidak memiliki karakter, ia hidup tanpa prinsip. Ia akan memilih pemimpin yang memberinya amplop, ia demo karena dibayar, jam 1 tempe 5 menit kemudian tahu, ya, begitulah kalau pribadi tanpa karakter. Yang biasanya merasakan dampak dari zaman yang bergejolak dan berubah-ubah ini ialah para buruh. Kita pernah mendengar beberapa korporasi besar angkat kaki dari negara kita dan PHK pun tak terelakkan. Jadi di zaman seperti ini, hemat Penulis ialah dengan kita terbuka dengan hal-hal baru yang akan menyelamatkan kita.

U untuk Uncertainty berarti ketidakpastian.  Yang berpendidikan tinggi tidak berarti lebih berkarya. Yang memiliki gelar S.E. tidak mutlak menjadi Ekonom. Yang mempunyai gelar S-2 minta dibunuh karena masih menjadi pengangguran. Yang berhijab, belum tentu tidak doyan video porno. Anak yang kurang dalam akademik bisa jadi lebih memberi arti ketimbang anak yang disebut “Anak Dewa” sewaktu masih sekolah. Dan hal bersifat berlawanan lainnya.

C untuk Complexity berarti saling berhubungan, saling tergantung, rumit. Contoh riilnya adalah birokrasi kita, yang tidak nyambung disambung-sambungkan sehingga jadinya rumit. Misal Penulis ingin ke Jakarta naik kereta dari kota Cirebon, Penulis harus mampir dulu di stasiun Surabaya terus ke stasiun Semarang, ke Surabaya lagi, dan kemudian dari stasiun Surabaya menuju ke kota Jakarta. Jadi kalau kita melihat ada orang khususnya yang menyebut darinya Abdi Negara tidak commit dengan pelayanan satu pintu, ia adalah bagian dari masalah masa lalu.

A untuk Ambiguity berarti menimbulkan keraguan. Yang tampak terhormat dan berpendidikan “di sana” dipandang sinis oleh rakyat yang mengawasi. “Tampang” meyakinkan itu memberikan keraguan bahkan ketidakpercayaan, hampir tidak adanya harapan. Seperti scene menangis sambil tertawa (“lucu” dan sedih campur jadi satu) aktor Matthew McConaughey dalam film Dallas Buyers Club yang membuatnya meraih piala Oscar dalam kategori Best Actor in a Leading Role 2014 mengalahkan Leonardo DiCaprio yang merupakan nomasi terkuat lewat film The Wolf of Wallstreet sekaligus nominasi kelimanya kala itu. Pemilihan di bawah payung Demokrasi yang “hanya” menjaring “beberapa” pemimpin yang menyelesaikan masalah, sisanya bagian masalah dari masa lalu, bahkan masalah baru yang lebih menawarkan popularitas ketimbang integritas, alias mutu seseorang. Penulis tidak anti dengan kata populer. Tapi banyak yang Penulis lihat many are famous for no reason.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline