Lihat ke Halaman Asli

Berkurban

Diperbarui: 22 Februari 2016   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

The Golden Age

Kehidupan seorang pria dimulai pada umur 40 tahun. Itulah sebuah pernyataan yang keluar dari mulut para pria. Dalam bahasa Matematika, pernyataan berarti kalimat yang berisi kebenaran. Dan dalam hal ini, Penulis kurang sepakat. Itu karena Penulis lebih sepakat dengan pernyataan yang lebih popular, “Scores do not represent intelligence and ages do not represent maturity.” Kalau hitung-hitungannya umur 40 tahun pria sudah memulai kehidupannya sebagai seorang pria, apa jaminannya kalau seseorang di usia matang tersebut akan merasa selalu mudah dalam segala menghadapi permasalahan yang akan datang? Penulis lebih cenderung suka dengan pernyataan, kehidupan seorang pria dimulai pada saat ia memiliki kesadaran untuk memberi. Ditambah lagi, Penulis menulis tulisan ini di saat umur Penulis yang baru seperempat abad, jadi kalau hitungannya 40 tahun, Penulis masih harus menunggu lama untuk menjadi seorang pria, dan Penulis tidak terima akan hal itu.

 

Raja Berkurban, Pangeran Memberi

Memberi dan berkurban bagi khalayak umum mungkin beranggapan kedua kata kerja itu memiliki arti yang mirip bahkan terkesan sama saja. Tetapi, bagi Penulis kedua kata kerja itu memiliki maksud, pengertian, dan bobot yang jauh berbeda. Kita mulai dari memberi. Memberi adalah sebuah kata kerja yang menggambarkan proses dimana seorang pemberi memberikan sesuatu kepada yang diberi, penerima. Motif yang umum yang berasal dari proses di atas ialah ada rasa tanggung jawab, iba, kasihan, kebersamaan, status pacar, dan lain sebagainya. Dan motif yang hakiki dalam memberi adalah kewajiban itu sendiri. Si kaya melihat si papa, lalu muncul rasa tanggung jawab atas kewajiban sebagai makhluk sosial. Melihat sahabat yang sedang kesusahan, lalu kita memberi apa yang bisa diberi. Melihat saudara kecil yang ingin “jajan” lalu kita memberinya receh. Melihat orang tua yang sedang butuh perhatian, lalu kita memberi waktu, materi, terlebih lagi perhatian yang tulus terhadap mereka. Tidak ada yang spesial dari kata memberi, karena memang itu sudah tugas kita. Seperti halnya waktu kita di sekolah, guru memberi tugas lalu kita menyelesaikannya, selesai titik, tidak ada yang spesial dari hal tersebut.

Lain hal dengan berkurban, ia satu tingkat di atas memberi. Dikarenakan motif yang lebih mulia. Berkurban dalam bahasa Penulis ialah turun gunung, meski ia seorang raja. Raja kecil atau pun raja besar, bahkan rajanya para raja.

Ia berkenan turun, merasakan kerikil-kerikil tajam gunung yang membuat kakinya tidak nyaman. Turun yang membuatnya menjauhi hasil dari kerja kerasnya. Lalu ia bertemu dengan orang-orang yang sedang tertatih-tatih untuk naik ke atas gunung untuk mencari kehidupan yang lebih layak. Ia pertama tersenyum kepada orang-orang itu, lalu berteman, menyebarkan energi positif. Dan akhirnya dapat secara manusiawi mengeluarkan orang-orang itu dari lingkaran jahiliyah. Lingkaran yang membuat orang-orang itu jalan lambat atau bahkan jalan di tempat dengan hanya mengelilingi punggung gunung.

 

Abraham

Sekali lagi, berkurban jangan disamakan dengan memberi. Karena ia jauh lebih berkelas. Berkurban itu bukan sekadar memberi kambing atau sapi lalu membagi-bagikannya kepada masyarakat luas baik kaya atau miskin. Ia hanya sebagai simbol. Seperti halnya pernikahan, saling tukar cincin sembari saling berjanji untuk menjadi satu yang diikat mati oleh tali suci yang bernama pernikahan. Ya, hal tersebut hanya sebagai simbol saja. Entitasnya adalah bagaimana mereka selalu dan akan selalu bisa saling mengerti, saling menjaga, saling berkomunikasi, saling mempercayai, saling mendukung, saling setia, dan saling berbagi.

Simbolnya mungkin menyembelih sapi atau kambing. Akan tetapi, entitasnya adalah agar membuka mata bahwa ada sebuah kemuliaan jika kita lebih mencintai dan menyayangi banyak manusia ketimbang menumpuk materi agar semakin banyak dan luas manusia yang melihat betapa tingginya materi tumpukan tersebut. Penulis ingin menekankan untuk bisa menangkap makna dari suatu hal. Penulis mengadopsi quote dari komika popular Indonesia, Pandji Pragiwaksono, ia mengatakan bahwa orang Indonesia lebih sering sebatas “mendengar” atau “melihat” apa yang “dikatakan” atau “ditunjukkan” (dapat dirasakan oleh lima panca indra) dari pada menangkap maksudnya.

Nabi Ibrahim menyembelih putranya, Nabi Ismail. Itu hanyalah simbolnya. Yang Penulis tangkap ialah perasaan yang mahaberat yang akan dihadapi untuk dapat berkurban dan pula keberanian mahabesar. Sulit menggambarkan perasaan Nabi Ibrahim yang merelakan apa yang begitu ia cintai. Penulis ulangi, yang ia cintai, yakni putranya Nabi Ismail. Mari kita berkaca dengan khusyuk. Apa kita berkenan mengurbankan apa yang kita cintai? Dan Penulis sangat yakin bahwa kita semua mencintai materi, sangat mencintai. Mari kita melihat kaca itu, apakah diri kita lebih memilih materi ketimbang kemuliaan.

Apakah materi berada di derajat yang sama dengan kemuliaan? Semakin banyak materi yang kita punya, semakin muliakah diri kita? Memang tidak mudah, mahaberat, dan bukan muskil. Segala sesuatu yang besar, dimulai dengan langkah-langkah kecil. Kita bisa mulai dengan memberi, memberi secara tulus dan ikhlas. Sedepa demi sedepa, kepekaan kita terhadap solidaritas pun akan semakin peka. Di sini Penulis ingin menyampaikan bahwa Penulis mempunyai mimpi. Mimpi kecil Penulis adalah adalah dapat berkurban untuk lingkungan, masyarakat, dan khususnya untuk agama Penulis. I may not be as big as Abraham, but I don’t want to be nothing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline