Aku meringkuk dan tidur beralaskan lantai marmer yang sudah kusam. Teralis besi dengan gembok itu mencegah kami lari dari sini. Ya, kami adalah pesakitan.
Di dalam ruangan sempit berukuran tiga kali empat ini, aku tidak sendiri. Ada lima orang lainnya yang juga dikurung sebagai pesakitan di sel tahanan bersamaku. Seorang preman dengan tatto di sekujur tubuhnya. Dia masuk sehari setelah aku tertangkap. Kabarnya dia adalah preman bayaran yang menjadi provokator tiap kerusuhan di dalam unjuk rasa mahasiswa. Dia sangat disegani karena koneksinya itu para pejabat.
Lalu, ada juga seorang anak muda, mungkin usianya sekitar dua puluh tahunan. Ia tertangkap saat mencuri sebuah ponsel untuk daring adiknya yang masih duduk di bangku SMP. Tiga orang pria yang berusia sekitar tiga puluh dan tiga puluh lima tahun ditangkap sebagai komplotan maling. Salah satu dari mereka kakinya dicium oleh timah panas saat akan melarikan diri. Lantas---aku sendiri yang tertangkap satpol PP ketika menjambret tas seorang ibu-ibu.
Sial memang. Aku tertangkap. Itu adalah kali pertamaku melakukan kejahatan. Walau alasannya karena terdesak kebutuhan sehari-hari, menjambret tetap saja salah. Terkadang salah dan benar tidak ditentukan dari perbuatan seseorang. Melainkan dari asal-usul atau siapa koneksinya.
Seperti hari ini, preman bertatto itu lebih dulu bebas daripada kami. Seorang pejabat daerah telah membebaskannya. Ia sempat tersenyum mengejek ke arah kami yang masih meringkuk di dalam tahanan.
Aku iseng mengobrol dengan kawan satu sel-ku. Mereka memiliki kisah berbeda hingga dipertemukan dalam sel yang dingin ini.
Misalnya---bocah berusia dua puluh tahun yang mencuri ponsel di salah satu toko. Ia menceritakan bahwa dirinya adalah tulang punggung untuk lima adik yang masih bersekolah. Dia sendiri harus mengalah tidak mengenyam pendidikan formal. Ibu mereka meninggal setelah melahirkan adik bungsunya. Sang ayah pergi entah kemana saat ia berusia sebelas tahun. Akhirnya ia memutuskan berhenti sekolah dan bekerja serabutan untuk menghidupi kelima adiknya. Hari itu---sang adik yang duduk di kelas 9 kebingungan. Pembelajaran sistem daring membutuhkan ponsel. Ujian akhir sudah dekat. Ia tidak ingin adiknya gagal dalam ujian akhir sehingga bocah ini mencari jalan pintas dengan mencuri sebuah ponsel.
Beda halnya dengan laki-laki yang kakinya terkena ciuman timah panas. Dia bergabung dengan komplotan maling untuk membiayai operasi caesar istrinya yang melahirkan prematur. Sedangkan dua orang lainnya terpaksa menjadi maling setelah di PHK dari tempat mereka bekerja dan dihimpit kebutuhan yang semakin berat.
Aku sendiri---terpaksa menjambret karena ibuku sedang dirawat di rumah sakit---aku juga butuh uang untuk biaya sekolah anakku. Belum lagi tagihan hutang dari rentenir yang sudah semakin membengkak. Pandemi corona membuat aku dirumahkan. Lantas kemana aku bisa mendapat uang dengan jumlah besar dalam waktu singkat. Melihat seorang ibu yang mengenakan tas serta pakaian mahal, membuatku gelap mata. Tanpa pikir panjang, tas ibu itu aku tarik---lantas aku kabur. Dan di sinilah aku berakhir.
Penjahat-penjahat kecil seperti kami yang melakukan kejahatan demi sesuap nasi, begitu mudah mereka penjarakan.
Sementara perampok rakyat berdasi itu melenggang kangkung dengan mobil-mobil mewah mereka. Hidup ini seperti sebuah paradoks. Dimana ketika kita terhimpit kebutuhan dan terpaksa membenarkan tindakan kriminal yang sudah pasti salah di mata hukum. Melakukan dengan resiko masuk ke dalam bui. Tidak melakukan namun anak dan istri di rumah kelaparan. Keadaan yang membuat kami berada dalam ruang abu-abu.
Terkadang terlintas tanda tanya besar di dalam benakku. Bagaimana sesungguhnya hitam dan putih di mata dunia? Apakah hitam yang berasal dari kalangan bawah sudah pasti kelam dan hitam dari kalangan kaum elit bisa menjadi putih karena lembaran rupiah dan koneksi?
****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H