Lihat ke Halaman Asli

Penolakan Arin

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Senandung kehidupan berirama diantara riuh angin berhembus. Radiasi matahari memancar berpedar-pedar.

Emak Arin mengupas bawang di depan kotak ajaib yang bercerita tentang dunia di luar kota Bontang, tentang kota metropolitan, desa di kejauhan, luar negeri yang jauh dari jangkauan. Diatas tampah yang tak nampak cokelat benar, butir-butir bawang menggelinding, kulitnya terhempas meninggalkannya, angin menarikannya di panggung itu, bambu yang dianyam. Panas di luar merekah sejadi-jadinya, jalanan tanpa basah, rumput sekarat dibuat.

Pijak pemasak handal memasuki rumah Arin, tanpa salam langsung duduk mengungkap tuju. Mungkin letih dengan aktifitasnya mondar-mandir Bontang—Samarinda—Bontang perjalanan yang beliau sebut sebagai menolong, atau pengap aroma bumbu yang selalu diaduknya. Dia Bu Gembrot.

“Rin... Arin... ini ada yang beli pulsa”, teriak Emak Arin setela Bu Gembrot mengungkap maksudnya.

Arin keluar dari gua persembunyiannya, tempat dia bercengkrama dengan bantal guling berpulau. Lama ia duduk bersama Emaknya dan Bu Gembrot setelah meladeni Bu Gembrot, mencoba sopan menunggu pelanggannya pergi. Dan telingannya menangkap topik tak sesuai.

Bu Gembrot membicarakan pengobatan alternatif, bukan dari produk herbal melainkan doa dari seorang yang disebut dukun, mendoakan benda kemudian benda itu dimakan oleh pasien sebagai obat.

Panjang lebar Bu Gembrot menjelaskan, berbagai kisah yang sudah melakukan, merincikan keuangan, segala tentang pengobatan alternatif itu.

Arin mendengar topik ini bukan kali ini saja, kemarin waktu juga pernah dia mendengar. Dia juga tahu Emaknya sudah terhasut dan mau mencoba pengobatan itu. Tapi masih berencana, mungkin Emak Arin masih ragu melakukannya. Entahlah.

“Ya sudah... hari Senin Ibu pergi ke Samarindanya, hari Minggunya Ibu kesini atau nanti saya yang ke rumah nitip uang. Ingatinlah kalau lupa...”, salah satu kaliamt yang dilontarkan Emak Arin.

Telinga Arin seperti ditusuk, hatinya bagai baru saja menyentuh sambal, jantung Arin sedikit menegang, otak Arin berpikir lemas. Dalam hati Arin menolak keinginan Emaknya, akh... tapi bagaimana mengungkapkannya, beliau orang tua, susah membengkokkan kemauan mereka. Arin tahu, dia tidak bisa membiayai pengobatan Emaknya sebab dia hanya pedagang pulsa dengan tak tentu pelanggan. Tapi kakaknya bisa membiayai Emaknya... kalau-kalau penyakit Emaknya kambuh. Pasti ada uanglah untuk membiayai Emak, omel Arin dalam hati.

Bu Gembrot pergi, sudah usai rupanya demo pengobatan alternatif. Arin masih disitu dengan Emaknya, diam bisu tak mampu mengungkapkan penolakannya.

Suara kotak ajaib mengalun, sesekali Emak mengajak membahas topik yang dikuak kotak, tapi Arin diam saja. Mungkin ini cara dia menolak, mogok bicara.

Burung-burung terbang kesana kemari, walau lelah masih terus bertahan mengepakkan sayap sampai bertemu dahan singgah dengan daun hijau dan buah atau serangga makanan yang hampir sirna ditebang jadi rumah atau gudang. Matahari tak lagi tepat di atas ubun-ubun, membengkok menuju riak air di pantai. Minggu sore yang melelahkan.

“Mak... mau kemana?”, tanya Arin melihat Emaknya sudah rapi dan bercengkrama dengan tetangga sebelah.

“Mandi sudah. Hanya sebentar saja”, jawab Emak, tahu isyarat Arin kalau dia mau mandi dan meminta Emak menjaga dagangan sebentar.

Berliter-liter air mengalir di selokan, terbuang tanpa terdaur ulang, meluncur menuju laut mencoba menjadi hujan.

Waktu magrib telah usai, kehangatan berada di depan kotak ajaib, disanalah raga-raga duduk melepas penat seharian.

“Dapur Bu Gembrot itu seperti habis di tembak Belanda. Panci tumpuk-tumpuk di depan pintu belakang, baki, piring, cobek berserakan”, ungkap Emak Arin disela tayangan, Arin dan kakaknya mendengar tapi tidak begitu menanggapi.

“Tadi Emak kesana, maunya lewat pintu belakang yang dekat, eh... tidak bisa masuk, muterlah lewat depan”, lanjut Emak, Arin diam saja menyaksikan tayangan, tapi terdengar kakaknya menanggapi, mungkin kakaknya tahu sifat adiknya yang enggan bicara kalau tidak begitu penting.

Dalam hati Arin, ya benar dugaannya... tadi sore Emak ke tempat Bu Gembrot menyerahkan biaya untuk berobat. Emak... tahukah Emak kalau Arin tidak suka pengobatan itu. Arin ingat tayangan di kotak ajaib yang menayangkan orang-orang terkena azab karena syirik kepada Allah. Arin tidak mau sesuatu hal terjadi pada Emak. Hidup, mati, jodoh, rejeki Allah suda mengaturnya, itu kata-kata yang sering Arin dengar. Jadi, tawakal dan berusaha di jalan yang baik saja. Arin dengar yang dikatakan Bu Gembrot , Bu Gembrot rasa pengobatan itu bukan syirik sebab ingin sehat. Tapi bukan dengan benda yang didoakan lalu dimakan, itu seperti percaya pada benda dan dukun itu.

'Akh... Emak. Maafkan aku sedikit membencimu sebab keputusanmu itu, maafkan aku tak berani mengungkap penolakan dan mencegahmu melakukan itu'.

Hati Arin menangis lirih, pandangannya masih pada tayangan. Tak bicara menanggapi topik Emaknya dengan Bu Gembrot, topik lain Arin mau berpendapat untuk menghormati pendapat atau pernyataan Emak.

Emak adalah Emak Arin, bagaimanapun Arin harus hormat dan sayang Emak, otak Arin mengingat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline