Lihat ke Halaman Asli

Patah dan Hati: Sebuah Cerita Pendek di Masa Pandemi

Diperbarui: 12 Juli 2023   07:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Unsplash/Oktavia Ningrum

Kurang lebih satu jam, aku menepikan mobilku ke salah satu rumah bercat hijau dan berpagar putih. Bisa kulihat pagarnya terbuka lebar, langsung saja aku parkirkan mobilku di sana. Setelah mengunci mobil, aku keluar dan masuk ke dalam rumah.

"Lu main gak tau waktu, Lang!" ujar Rehan kesal yang menyambutku dengan lemparan bantal. Aku tertawa sekilas, lalu memeluk lehernya erat.

"Sorry, ganggu lu malem-malem," ucapku sungkan, Rehan hanya mengangguk santai.

"Selow, lah! Kayak sama siapa aja pakai maaf-maafan. Turut berduka cita atas kandasnya hubungan lu sama Tamara. Tapi syukur juga sih lu jadi putus, dia cewek yang nggak pernah serius sama lu. Lu aja sih, bego. Tiga tahun gak sadar-sadar kalau di cepu-in tuh cewek!" Aku hanya tersenyum miris. Rehan memang suka blak-blakan tak mengenal situasi.

"Yaudah gue cabut dulu ya," pamitku seraya meraih topi. 

"Ke pantai, cuma 200 meter kan dari sini. Titip mobil sama kuncinya ya, thanks bro." lanjutku.

"Eh, masker lu mana!" teriak Rehan di ambang pintu.

"Nggak lah. Males." Aku melambaikan tangan, menolak halus.

"Terserah lu dah. Ntar kalau lu kena covid, lu juga yang mati. Sono gih pergi, gue mau lanjut tidur. Ganggu aja pagi-pagi!" Aku menggelengkan kepala. Kenapa bisa punya teman seperti itu?

Sesampainya di pantai, aku hanya duduk termenung menatap ke arah laut yang masih gelap. Dinginnya tak lagi berasa, yang tersisa hanya rasa nyeri di ulu hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline