Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Supernova

man purposes God disposes - ssu

Mau atau Pernah Mencoba Bunuh Diri?

Diperbarui: 8 Januari 2018   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: shutterstock.com

Ini adalah ungkapan perasaan sayangku padamu, semua saudaraku yang membaca ini. Bagimu, yang pernah terbersit dalam hatimu untuk mengakhiri hidupmu. Entah dengan apa cara yang kau pikirkan. Atau juga bagimu yang sudah pernah mencobanya namun sampai detik ini nafas masih mengalir dalam rongga paru-parumu. Kutuliskan ini dengan nuraniku, saudaraku..

Aku, adalah seorang anak bungsu perempuan dalam keluarga. Aku memiliki 7 saudara laki-laki dan perempuan. Aku memiliki banyak keponakan. Aku, pernah mengasuh beberapa di antara mereka. Beragam ulah mereka. Ada yang pintar sekali, seperti makannya gampang, banyak dan tidak rewel. Ada yang sebaliknya, saat mengingatnya air mataku berlinang, anak dari kakakku yang keempat, saat ditidurkan kalau sudah menangis itu bisa sampai empat jam bahkan semalaman untuk menenangkannya.

Seakan keponakanku itu mau diapakan saja.. Jeritannya ampun aku tidak tahan..! aku rasanya ingin menangis setiap mengenangnya, karena saat aku masih sekolah menengah dan mengintip ke jendela kakakku (waktu itu kami sempat serumah walau dia sudah berumah tangga) saat ia menggendong-gendong keponakanku dengan wajah bingung yang terlihat sangat lelah. Jika diturunkan sedikit, keponakanku akan menjerit keras sekali. Terus dan terus di 'cup-cup'kan untuk menenangkan keponakanku itu.

Aku, dalam logika polosku berpikir, apakah sesulit itu menidurkan anak? Kalian tau, keponakanku ini tidak hanya sangat rewel. Tapi juga sangat ceroboh semasa kecilnya, sering sekali melakukan kesalahan dan dengan sabarnya kakakku menjelaskan dan mendidiknya akan banyak hal. Hingga saat ini, di usianya yang menginjak tiga belas tahun, ia pernah menjadi juara umum di sekolahnya, telaten dalam mengurus adiknya dan juga memiliki banyak prestasi akademis lainnya. Alhamdulillah.

Ada lagi, keponakanku yang beberapa menit setelah lahir, dikabarkan dokter tidak bisa buang air kecil. Entah apa yang terganggu. Keponakanku ini lahir dari kakakku yang kedua. Saat itu, aku masih ingat wajah kakakku yang begitu panik menceritakannya karena pada saat kejadian aku tidak ada di rumah sakit. Kalau tidak salah saat aku masih di sekolah asrama. Kakakku bernadzar akan menyembelih kambing jika ia bisa sembuh. Kakakku shalat dan berdoa yang panjang saat itu.

Hingga dengan izin-Nya dan pertolongan-Nya, keponakanku ini kembali sehat. Saat ini, keponakanku ini sudah kelas 3 SD. Masih tidak begitu lancar membaca alphabet dan masih belum prima dalam akademis, bahkan saat ulangan kadang gurunya membantunya membacakan soal. Di balik itu semua, ia memiliki jiwa yang sangat peka dengan sesama dan sangat suka membantu. Bahkan dari masih usia kecil. Aku sering ditemaninya kemana-mana. Diminta tolong ini itu, hampir selalu mau. Alhamdulillah.

Sekarang, giliran orang tuaku. Dengan segala kekurangan dan kelebihan mereka dalam membesarkanku dan mendidikku, aku begitu bersyukur. Memori saat ayahku pernah memandikanku dengan sangat bersih saat masih kecil, saat ia memberiku permen saat aku berhasil menjawab pertanyaan bahasa Inggrisnya, hadiah Alfalink pertamaku darinya karena hafalan Qur'anku, juga saat ia membuka perban operasi kataraknya yang sebelum waktunya demi bekerja, melelehkan air mataku. Di atas semua perlakuan atau mungkin kata-katanya yang pernah membuatku kurang berkenan, juga akupun juga pernah berlaku yang tidak semestinya padanya, aku bersyukur. 'Papa', aku menyebutnya.

Ibuku, atas semua perhatiannya. Atas semua keletihannya meyekolahkanku. Mencari sekolah terbaik untukku dan kami semua, jualan serabutan untuk tambahan uang kebutuhanku, selalu mendukung setiap hobi dan kesukaanku. Selalu berwajah sedih saat kesedihan tampak di wajahku walau aku belum mengatakan apapun.

Berwajah gembira saat kegembiraan tergambar diwajahku walau selalu belum kukatakan apapun. Tangannya yang ribuan kali memberesi bekas bukuku yang berserak di tempat tidur saat aku tidur, mengambil dan mencuci piring kotorku sampai aku dewasa karena aku masih menonton tv, melipat pakaianku untuk yang ke sekian puluh ribu, pergi menyiapkan makanan untukku di setiap pagi entah ke yang berapa ribu kalinya.. pangkuannya saat aku mengantuk di angkutan umum dulu masih begitu kuingat.

Padahal aku sudah berat dan sudah kelas ke berapa SD. Elusan tangannya di punggungku saat aku hendak tidur dulu. Ucapannya yang selalu menyemangatiku dan membesarkan hatiku, semuanya, tak bisa kubayar sekalipun dengan dunia ini dan seisinya berkali-kali lipat. Belum lagi setiap rintihannya dan rasa sakitnya saat mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkanku. Berat rasa tenggorokanku menuliskan ini. Air mataku terus turun deras. 'Mama', wanita mulia ini aku sebut.

Saudaraku, ini bukan semata tentang aku. Tapi juga tentang kau. Aku hanya ingin menyampaikan, bahwa saat kita mencoba untuk membuka mata dan melihat pada masa lalu kita, sekelam apapun, kita akan mendapati bahwa ternyata ada begitu banyak tangan yang pernah membantu kita. Ada begitu banyak jiwa yang pernah begitu menyayangi kita. Siapapun kita. Bukankah saat ini, kita adalah kumpulan dari rintihan jeritan ibu saat melahirkan kita, cucuran dari keringat ayah atau siapapun yang menafkahi kita, senyuman dari berbagai pihak yang pernah mensyukuri kehadiran kita..? Adakah manusia di muka bumi ini yang lahir tanpa usaha dan jerih dari manusia lainnya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline