Puput puser dalam adat Jawa diartikan lepasnya tali pusar bayi. Jika tali pusar sudah terlepas maka lubang pusar ditutup dengan merica apabila jenis kelaminnya pria atau tumbar apabila jenis kelaminnya perempuan.
Merica atau tumbar dimasukan kedalam lubang pusar sambil ditekan-tekan dengan telapak tangan yang sudah dibaluri sukmadiluwih, jambulnya bunga nagasari.
Baca juga: Tradisi Adat Pernikahan Budaya Jawa yang Tidak Dimiliki oleh Budaya Lain
Bagian pusar yang lepas dirawat dengan hati-hati. Rumah yang ditinggali dilingkari dengan Lawe wenang, dipinggir pintu masuk ditaruh daun nanas dilonthengi enjet - angus arang dan dedaunan (widara, apa-apa, awar-awar, girang, ri kemarung), kupat luwar isi sawanan (dlingo, bengle, bawang). Ritual tersebut sebagai bentuk tolak bala sarap sawan.
Baca juga: Kebaya Encim: Perpaduan Budaya Jawa, Eropa, Tionghoa, dan Betawi
Sarap sawan adalah penyakit aneh yang biasa dialami oleh bayi. Gejalanya suhu badan panas, rewel, dan kejang-kejang. Sarap sawan terjadi pada saudara kakang kawah, adi ari-ari yang keluar bersama dalam sehari, darah pusar lima pancer, welat kunir, dan potongan ari-ari.
Sehingga, supaya tidak mengganggu saudara si bayi maka harus dibuatkan mainan berupa payung dan umbul-umbul yang dibuat dari kertas, keris dan tombak dibuat dari bambu. Semua mainan tadi di tancapkan dibatang pohon pisang.
Pada jam 7 malam menyalakan petasan sebagai pertanda jika sudah puput atau lepas. Dalam semalam bayi harus dipangku, bayi boleh ditaruh ditempat tidur setelah pagi hari.
Ditempat tidur si bayi diberi gandhik yang dicoret-coret pakai enjet menyerupai manusia. Gandhik tadi digendong seperti bayi pada umumnya dan ditidurkan didekat bayi. Tempat tidur bayi diberi tampah atau tempayan beralaskan daun senthe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H