Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Rohie

Mahasiswi

Menegakkan Kesetaraan Gender: Hubungan Pornografi dan Feminisme dalam Keperawatan

Diperbarui: 18 Desember 2022   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kak, cowo boleh gak sih masuk perawat?" Tanya salah satu peserta Bedah Kampus UI pada hari Minggu, 27 November 2022. Kenapa, ya?

Banyak orang yang masih ragu memasuki Fakultas atau Jurusan Ilmu Keperawatan hanya karena alasan gender. Memangnya peran perawat berdekatan sekali, ya dengan kaum hawa? Hingga membuat kaum adam ragu dengan pertimbangannya memasuki Keperawatan. Padahal, menurut penulis sendiri, baik perempuan dan laki-laki, memiliki kesempatan yang sama untuk memasuki profesi keperawatan.

Bahkan, total mahasiswa laki-laki reguler di Fakultas Ilmu Keperawatan UI angkatan 2021 bisa dihitung dengan jari, yakni lima orang saja. Kemudian, kalau ditotalkan dari angkatan 2019 hingga 2022, total mahasiswa laki-laki reguler diperkirakan ada 15 hingga 25 orang dari ratusan perempuan yang ada. Dari kasus tersebut, maka dapat terlihat bahwa masih ada masalah ketidaksetaraan gender dalam keperawatan.

Adanya ketidaksetaraan gender tersebut memiliki sejarah yang melatarbelakanginya. Dimulai, dari Florence Nightingale, filsuf keperawatan pertama yang diduga sebagai feminis. Setelah penolakan terakhirnya terhadap lamaran pernikahan Richard Monckton Milnes, Florence Nightingale menyatakan, "Saya tahu saya tidak akan tahan hidup dengannya." Dia menambahkan, "Untuk selamanya, bahkan melanjutkan hidup saya dengan harapan orang lain, tidak akan tertahankan bagi saya karena tampak seperti bunuh diri." Menurut Nightingale, pernikahan dan melaksanakan "tujuan" nya sebagai "tanggung jawab wanita" tidak sesuai dengan dirinya (Smith & Parker, 2015, p. 46).

Sensus tahun 1851 mengungkapkan bahwa ada 365.159 "wanita berlebih" di Inggris, artinya wanita yang belum menikah. Perempuan-perempuan ini dianggap mubazir, seperti yang dijelaskan dalam esai tentang sensus berjudul "Mengapa Perempuan Mubazir?" (Widerquist, 1992, hlm. 52). Banyak dari wanita ini tidak memiliki sarana pendukung yang dapat diterima, dan pengembangan Nightingale tentang pekerjaan yang cocok untuk wanita, yaitu keperawatan, merupakan perkembangan sejarah yang signifikan dan kontribusi besar Nightingale terhadap penderitaan wanita di abad ke-19. Namun, dengan cara lain, pandangannya tentang perempuan dan pertanyaan tentang hak-hak perempuan cukup beragam (Smith & Parker, 2015, p. 46).

Nightingale merasa kesal dengan batasan dan batasan yang diberikan pada wanita, terutama wanita "kaya" yang tidak melakukan apa-apa: "Apa yang [wanita] ini derita --- bahkan secara fisik --- dari keinginan akan pekerjaan seperti itu tidak ada yang tahu." Akumulasi energi gugup, yang tidak ada hubungannya di siang hari, membuat mereka merasa setiap malam, ketika mereka pergi tidur, seolah-olah menjadi gila. Terlepas dari kata-kata yang jelas ini, yang ditulis oleh Nightingale (1852--1979) dalam polemik berapi-api "Cassandra", yang digunakan sebagai seruan di banyak kalangan feminis, pandangannya tentang solusi diukur. Resolusinya sendiri, yang dia dapatkan dengan menyakitkan, adalah untuk melepaskan diri dari keluarganya dan mewujudkan misi kepeduliannya, yaitu sebagai seorang perawat. Salah satu dari banyak hasil ini adalah bahwa pekerjaan yang berguna bagi perempuan untuk mengejar dapat terlaksana. Nightingale hanya menyetujui bahwa perawat dan bidan perawat adalah pekerjaan yang pantas dan lebih unggul bagi wanita, tapi tidak sebagai dokter (Monteiro, 1984 dalam Smith & Parker, 2015, p. 47). Dengan kata lain, Nightingale terlihat menggenderkan perawat terlepas dari keinginannya untuk menegakkan hak wanita. Selain dari faktor orang terdahulu, proses digitalisasi pun berpengaruh dalam kondisi ketidaksetaraan gender tersebut.

Studi tentang stereotip perawat di media memiliki sejarah panjang. Dikarenakan opini publik dan kebijakan pemerintah yang buruk, publikasi liputan media keperawatan, keadaan tersebut lah yang dapat merugikan perawat saat ini, karena citra memengaruhi perdebatan mengenai struktur keperawatan di masa depan (Hallam 2000; Gillet 2014; The Press Association 2014). "Angel of Mercy," "Girl Friday," "Heroine," "Wife/Mother," dan "Sex Object" adalah beberapa penggambaran perawat media massa yang terdokumentasi dengan baik (Kalisch dan Kalisch 1987). Penggambaran "Obyek Seks" adalah "sensual, penuh gairah, hedonistik, sembrono, tidak bertanggung jawab, dan bebas pilih-pilih," yang ada untuk dinikmati para dokter dan pasien pria. Keperawatan memerlukan penyediaan perawatan intim; konotasi negatif menjadikan keperawatan seksual sebagai "metafora untuk seks" (Fagin 2000). Perawat dianggap sebagai pasangan seksual yang bersemangat karena mereka menyentuh tubuh orang lain, tetapi tidak seperti pekerja seks, mereka dianggap aman karena "kualitas" ditentukan dari seragam yang bersih dan rapi. Fungsi unik perawat sebagai objek seks secara historis telah dikurangi oleh film-film Carry On... yang berfokus secara medis dan konsep keperawatan dalam film-film porno (Kalisch dan Kalisch 1987) dalam (Gill & Baker, 2021, p. 373).

"Lalu, apa yang perlu dilakukan sekarang?" Karena penulis adalah mahasiswa keperawatan Universitas Indonesia, sehingga penulis memiliki privilege tersendiri untuk mengubah stereotipe gender dalam keperawatan, bisa dimulai dari mempublikasikan informasi yang berkaitan di sosial media, Instagram, twitter, linkedin, dan youtube, misalnya. Bukan hanya mahasiswa saja, melainkan perawat lulusan UI jua memiliki privilege tersendiri. Perawat sarjana atau profesi dapat menerapkan kelas mentoring untuk membantu adik-adik yang masih ragu untuk masuk keperawatan.

Yang paling penting adalah mahasiswa keperawatan dapat mengenali nilai-nilai mereka sendiri terlebih dahulu. Ini mirip dengan melihat gelembung diri sendiri karena kita sering melihat dunia melalui nilai-nilai kita tanpa menyadarinya. Nilai-nilai adalah dasar bagaimana kita memandang dunia. Langkah pertama untuk bekerja dengan sukses dengan profesional kesehatan lain, pasien, dan keluarga yang nilainya berbeda adalah belajar menghargai nilai Anda sebagai perspektif unik Anda sendiri (Potter et al., 2021, p. 1084). Begitupun dengan pria, mereka seharusnya tidak perlu bingung untuk terjun dalam bidang keperawatan apabila sudah mengenal jati dirinya.

Pertama dan terpenting, kita tidak bisa menjadi apa yang tidak bisa kita lihat. Mari kita pamerkan dan rayakan perawat kita, memulihkan keperawatan sebagai karier untuk yang cerdas, bersemangat, dan perintis. Ketika feminisme bangkit kembali, mari kita mohon untuk memahami bahwa tantangan perawat adalah simbol dari perjuangan perempuan. Memasuki profesi untuk membebaskannya dari stereotip gender sama radikalnya dengan memasuki bidang yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki berkuasa. Kedua, mari kita bahas stigma yang diasosiasikan dengan uang. Benar, kami tidak menjadi perawat untuk menjadi kaya, tetapi ini tidak dapat digunakan untuk melawan kami saat menawar kompensasi yang lebih tinggi. Dan mari kita berharap untuk keadaan kerja yang lebih baik, lebih banyak ruang untuk tumbuh, dan pengakuan akan perbedaan. Akhirnya, NHS ingin mendapatkan keuntungan dari kemampuan semua orang. Ada beberapa perawat yang sangat berbakat di luar sana. Biarkan langit menjadi batas mereka dan perhatikan bagaimana mereka melambung. Terakhir, NHS (National Health Services) ingin memanfaatkan kemampuan semua orang baik laki-laki maupun perempuan. Ada beberapa perawat yang luar biasa di luar sana. Biarkan langit menjadi batas mereka dan saksikan mereka melambung (Matthews & Greenfield, 2019, p. 2).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline