Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Rahmadani

Mahasiswi Ilmu Hukum Universitas Pamulang

Ancaman Pidana Penjara Maksimal 20 Tahun bagi Pelaku Kejahatan Seksual di Lampung Utara, Apakah Adil untuk Korban?

Diperbarui: 18 Juni 2024   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Opini dari Aisyah Rahmadani, Mahasiswi Ilmu Hukum, Universitas Pamulang.

Belakangan ini media massa dihiasi dengan kasus-kasus pelecehan terhadap anak seperti penculikan, pembunuhan dan eksploitasi seksual yang terjadi di Indonesia. Kejahatan ini seringkali melibatkan pelaku yang memiliki hubungan dekat dengan korban, seperti pasangan, anggota keluarga, atau orang yang dikenal oleh korban.

Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di Lampung Utara, seorang anak SMP berinisial NA telah diculik, disekap dan diperkosa secara bergiliran oleh 10 orang. Dimana salah seorang pelaku yang membawa NA ke gubuk merupakan mantan pacar korban yang berinisial D yang artinya salah satu pelaku dari kejahatan ini merupakan orang yang dikenal oleh korban. Dalam kasus ini baru 6 pelaku yang ditangkap dan 4 lainnya masih dalam pencarian.

Pada kasus penculikan disertai dengan pencabulan atau kekerasan seksual tersebut, para pelaku dapat dikenai pidana karena melanggar Pasal 76E dan Pasal 76F UU 35/2014 Jo. Pasal 82 UU 17/2016 dan Pasal 83 UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak dan Jo. Pasal 65 KUHP. Dengan ancaman pidana penjara selama maksimal 20 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp 5.000.000.000.000,00,- (lima miliar rupiah).

Dengan adanya kasus tersebut, cukup membuktikan bahwa kualitas perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia masih terbilang lemah, karena Negara belum dapat merealisasikan tanggung jawabnya sebagaimana yang ditegaskan dalam konstitusi pada Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 berikut: "Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah".

Maka dari itu, sudah seharusnya untuk memberikan tindakan pencegahan ataupun "mengobati'' peristiwa yang sudah terjadi seperti kasus diatas. Ada beberapa cara agar kasus tersebut tidak terulang kembali, bentuk perlindungan hukum yang dimaksud ialah sebagai berikut:

Perlindungan hukum secara preventif yaitu perlindungan hukum yang diberikan guna mencegah terjadinya tindak pidana. Dihubungkan dengan kasus di atas, maka perlindungan hukum yang dimaksud dapat berupa langkah-langkah preventif seperti melakukan pengawasan ataupun memperketat keamanan lingkungan sekitar guna mengurangi tindak pidana yang terjadi. Lalu mengadakan sosialisasi mengenai kewaspadaan akan tindak pidana yang sering terjadi dimulai dari tingkat rt, rw, desa maupun di lingkungan pendidikan.

Perlindungan hukum secara represif yaitu perlindungan hukum yang diberikan setelah terjadinya tindak pidana. Dihubungkan dengan kasus di atas, maka perlindungan hukum yang dimaksud dapat berupa melakukan pelaporan kepada kepolisian agar pelaku tindak pidana dapat dikenakan ancaman/sanksi pidana. Selain itu, bagi korban perlu dilakukan pemulihan yang meliputi rehabilitasi medis, mental, sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya. Pemulihan tersebut dilakukan sebelum, selama dan setelah proses peradilan yang meliputi pendampingan hukum dan pendampingan psikososial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline