Lihat ke Halaman Asli

Pembuatan Keputusan Etis di Dunia dengan Keterbatasan AI

Diperbarui: 7 September 2024   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

AI adalah kontroversi yang paling banyak dibicarakan dalam teknologi. Perdebatan mengenai apakah AI akan menggantikan manusia di dunia kerja sebagian besar menyimpulkan bahwa meskipun AI dapat meningkatkan kemampuan manusia, AI tidak dapat sepenuhnya menggantikan kedalaman dan keluasan keterampilan dan intuisi manusia.

Laporan Future of Jobs Report 2023 dari World Economic Forum menemukan bahwa pemikiran analitis, pemikiran kreatif, serta AI dan big data merupakan beberapa keterampilan utama untuk tahun 2027. Berdasarkan hasil riset yang dipublikasikan oleh University of Montana pada Juli 2023 menunjukkan bahwa AI khususnya GPT-4 terbukti menyamai 1% di atas kreativitas manusia. Dalam penelitian tersebut, AI unggul dalam hal menghasilkan ide dengan jumlah yang lebih banyak, orisinalitas, serta ide-ide baru. Namun tidak unggul dalam hal fleksibilitas dan jenis atau kategori ide.

Dalam hal kreativitas, manusia memiliki kapasitas unik untuk berkreasi, menghasilkan ide-ide orisinal, seni, dan inovasi dengan cara yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, emosi, dan konteks budaya. Sementara AI menghasilkan konten berdasarkan pola dan data.

Dengan diluncurkannya program-program AI generative bagi konsumen seperti Bard dari Google dan ChatGPT dari OpenAI, pasar AI generatif siap untuk meledak, tumbuh menjadi $1,3 triliun selama 10 tahun ke depan dari ukuran pasar yang hanya sebesar $40 miliar di tahun 2022, menurut laporan baru dari Bloomberg Intelligence (BI).

Ya, AI dapat menggantikan beberapa pekerjaan, tetapi juga akan menciptakan pekerjaan baru. Adopsi teknologi 'no-human-in-the-loop' akan berarti bahwa beberapa jabatan pasti akan menjadi mubazir, tetapi jenis pekerja baru yang akan fokus untuk berpikir kreatif tentang bagaimana AI dapat dikembangkan dan diterapkan, satu set personel baru akan diperlukan untuk membangun, memelihara, mengoperasikan, dan mengatur teknologi yang sedang berkembang ini akan menciptakan peluang kerja baru.

Penelitian dari Universitas Yale mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional membantu kita dalam membuat keputusan yang lebih baik dalam bekerja. AI pendeteksi emosi adalah bagian dari AI yang menggunakan algoritma canggih untuk menganalisis emosi manusia. Emosi adalah sesuatu yang kompleks, penuh nuansa, dan seringkali sulit untuk diuraikan. Bahkan sebagai manusia, kita memahami emosi secara subjektif dan memiliki akurasi yang terbatas. Di sinilah AI berperan. Algoritme AI telah menjadi lebih baik dalam mendeteksi dan menganalisis ekspresi wajah, intonasi vokal, dan bahkan teks untuk menyimpulkan pemahaman yang lebih akurat tentang emosi manusia.

Deteksi emosi berbasis AI menjadi primadona di bidang Marketing. Perusahaan analisis data penjualan, Gong, menganalisis interaksi antara tenaga penjualan dan pelanggan untuk membantu tenaga penjualan profesional berkomunikasi dengan lebih baik dan menutup lebih banyak transaksi. Gong memanfaatkan machine learning (ML) dan NLP untuk mengindeks email dan panggilan video pelanggan, serta mengumpulkan wawasan kualitatif dari data kuantitatif pelanggan untuk membuat presentasi yang lebih baik dan menggunakan bahasa yang lebih persuasif dan berempati.

AI memiliki keterbatasan untuk memberikan empati, membangun hubungan yang bermakna, memahami emosi yang kompleks, karena AI hanya dapat mendeteksi dan merespon emosi. Namun AI sebenarnya dapat membantu manusia melakukan pekerjaan manusia yang lebih baik, yaitu dengan membantu kita meningkatkan kecerdasan emosional, soft skill, dan kemampuan komunikasi interpersonal.

Berdasarkan laporan PwC, AI dapat berkontribusi hingga $15,7 triliun1 terhadap ekonomi global pada tahun 2030. Di negara Asia berkembang, dampaknya mencapai 10,4% dari PDB, atau sekitar $0,9 triliun. Negara-negara berkembang akan mengalami peningkatan yang lebih sederhana karena tingkat adopsi teknologi AI yang jauh lebih rendah dari yang diperkirakan.

Dengan besarnya potensi tersebut, kita tidak dapat benar-benar yakin bahwa kita telah mengetahui potensi dari AI di masa mendatang, namun demikian dimensi dan sudut pandang yang beragam dalam membuat keputusan moral, dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma masyarakat, dan seluk-beluk berbagai konteks berada di luar kemampuan AI. Manusia mampu melakukan pendekatan komprehensif yang diperlukan untuk memanfaatkan intuisi, pengalaman, dan kreativitas dalam pengambilan keputusan etis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline