Lihat ke Halaman Asli

Menelisik Gaya Bermain Tontowi/Liliyana

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

141240420472709368

Setelah sekian lama menjadi pecinta sekaligus pengamat "amatir" bulutangkis, baru kali ini saya mengulas dan berani berkomentar tentang gaya permainan atlet ganda campuran kebanggaan Indonesia yaitu Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir.

Beberapa hari yang lalu, telah kita ketahui bahwa cabang olahraga bulutangkis berhasil menyumbangkan 2 keping emas untuk Indonesia. Emas pertama sekaligus emas pembuka Indonesia di ajang multievent 4 tahunan itu disumbangkan oleh pasangan ganda putri Greysia/Nitya dengan mengejutkan. Sementara emas kedua lahir dari keringat pasangan ganda putra Hendra/Ahsan setelah berhasil menumpas pasangan ganda putra dari Negeri Ginseng. Dua keping emas memang bukanlah sebuah hasil yang buruk , bahkan 2 emas ini dapat dikatakan sudah cukup untuk memenuhi target PBSI (Persatuan Bulutangkis Indonesia) sebelumnya. Akan tetapi, bagi saya pribadi perolehan 2 emas dari cabor bulutangkis terasa hampa. Pasalnya, idola saya yaitu Tontowi/Liliyana yang sudah digadang-gadang untuk merebut emas ketiga untuk Indonesia harus tunduk oleh rival sejatinya pada partai final. Sebetulnya ada perasaan sedih dan kecewa ketika Butet/Owi (sapaan akrab Tontowi/Liliyana) kalah 'mudah' dari Zhang Nan/Zhao Yunlei, tapi apa boleh dikata, ini belum rezeki mereka, jadi harus diikhlaskan saja.

Berbicara tentang kekalahan Butet/Owi di final Asian Games 2014, saya jadi teringat dengan tragedi kekalahan mereka di semifinals Olimpiade London 2 tahun silam atas pasangan negeri tirai bambu pula, Xu Chen/Ma Jin. Pada saat itu mereka memulai pertandingan dengan apik, bahkan kalau tidak salah sempat memimpin di set pertama dengan skor 23-21. Memasuki set kedua, permainan mereka mulai dapat terbaca oleh Xu Chen/Majin dan akhirnya mereka dipaksa untuk bermain rubber set. Naas sekali, pada set ketiga mental Butet/Owi down, mereka sering melakukan kesalahan sendiri dan gampang sekali untuk dimatikan oleh pihak lawan. Dalam kondisi begitu, Butet/Owi seperti putus komunikasi, layaknya bermain sendiri-sendiri. Masih melekat di ingatan kalau waktu itu kelemahan Butet/Owi muncul ketika Butet (yang biasanya spesialis di depan net) ditarik ke belakang, sedangkan Owi (si eksekutor yang biasanya di belakang) ditarik ke depan net. Hal demikian diterapkan oleh Xu Chen dan Ma Jin saat semifinals OG London 2012, sehingga Butet/Owi kandas dan tidak bersemangat untuk melanjutkan pertandingan selanjutnya. Buktinya, pada perebutan medali perunggu, Butet/Owi bermain apa adanya dan kalah mudah oleh pasangan dari Eropa.

Kembali ke final Asian Games 2014, Butet/Owi awalnya juga bermain apik dan bahkan sempat unggul 11-5 dari Zhang Nan/Zhao Yunlei. Keunggulan tersebut tentunya membuat gigi orang Indonesia meringis dibuatnya, karena harapan menambah emas ketiga dari bulutangkis terbuka lebar. Setelah interval set 1, Butet/Owi seperti puas dengan keunggulan mereka. Kesalahan/unforced error bertubi-tubi mereka lakukan. Beberapa point pun harus mereka relakan untuk pasangan China hingga pada akhirnya kedudukan skor menjadi 13-13. Sangat disayangkan, kecerobohan Butet/Owi justru membangkitkan gairah bermain pasangan China dan Butet/Owi harus kalah di set pertama. Memasuki set kedua, tragedi OG 2012 seperti terulang. Butet/Owi sering melakukan kesalahan sendiri, tidak ada komunikasi, bermain apa adanya, tidak ada gairah bermain apik, dan permainan mereka sama sekali tidak berkembang. Kalau keadaan mereka sedang begini, mereka sangat mudah dikalahkan. Tidak seperti waktu pertandingan semifinal Asian games 2014 lalu, mereka sangat agresif hingga menang telak atas rival sejatinya juga yaitu Xu Chen/Ma Jin, bahkan dengan skor awal 11-0.

Berdasarkan kacamata saya, gaya bermain Butet/Owi dapat disimpulkan seperti berikut:

1. Butet/Owi bermain sangat bagus dan taktis apabila dari awal sudah bermain dengan penuh gairah dan agresif. 1 point pun tidak mau mereka sia-siakan.

2. Jika kesalahan sendiri sudah mulai muncul, susah untuk dihentikan.

3. Jika skor mereka terkejar oleh lawan, permainan mereka sulit berkembang, komunikasi terputus, dan gampang terkalahkan.

4. Terakhir, mereka itu gampang sekali mengalahkan lawan dengan skor telak. Mereka juga gampang sekali untuk dikalahkan dengan skor telak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline