Selama bertahun-tahun, efek rumah kaca di Bumi semakin berdampak dan tampaknya penyebabnya adalah polusi, tentu saja polusi udara di beberapa negara. Oleh karena itu, masalah pemanasan global tidak dapat diatasi jika polusi meningkat dalam jangka waktu yang lama. Berbagai bentuk pencemaran udara di perkotaan mempengaruhi kondisi bumi. Di antara faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah peningkatan suhu, perubahan iklim, dll. Seiring berubahnya waktu, lahan kosong yang tersisa selalu diubah menjadi toko, rumah, dll. melalui pengembangan sektor swasta atau perubahan dalam pemerintahan.
Selain itu, lingkungan menjadi semakin padat dan faktor lingkungan yang meningkatkan suhu terjadi di daerah ketika lahan kosong dibangun dengan bangunan yang tidak mendukung kondisi lingkungan. Faktor lain juga ikut berperan jika Anda sering menggunakan transportasi pribadi. Tidak tersedia cukup lahan untuk menanam tanaman, sehingga konsentrasi karbon dioksida (CO2) semakin tinggi. Hal ini juga termasuk faktor penyebab terjadinya efek rumah kaca di atmosfer. Kurangnya kesadaran akan pentingnya lahan hijau juga berdampak pada kesehatan masyarakat, karena tingkat polusi karbon dioksida dapat dengan mudah membuat masyarakat mudah terserang penyakit.
Akibatnya, paru-paru berfungsi menyimpan udara yang terkontaminasi karena yang dihirup bukanlah bentuk udara yang aman bagi sistem pernapasan manusia (oksigen). Mempertimbangkan dampak-dampak oleh sistem pernapasan, dalam artikel "Efek Kesehatan dari Polusi Udara Partikulat", beberapa penelitian mengevaluasi dampak akut polusi partikulat terhadap kejadian penyakit dengan memeriksa hubungan. Hubungan temporal jangka pendek antara ukuran fungsi paru-paru, penyebab gejala pernafasan, dan polusi. Hubungan negatif antara polusi partikulat dan pengukuran fungsi paru-paru biasanya diamati.
Dampak partikulat (partikel) terhadap fungsi paru-paru umumnya kecil secara fisiologis tetapi signifikan secara statistik. Karena ukuran materi partikulat yang berbeda digunakan, sulit untuk membuat perbandingan yang tepat antara penelitian. Selain itu, banyak dari penelitian tersebut mengamati peningkatan gejala pernapasan, tingkat penyakit asma bisa jadi kasusnya. Namun selain berdampak pada sistem pernafasan, juga berdampak pada sistem pencernaan. Contohnya adalah seseorang makan di tengah jalan raya, dimana setiap kendaraan menimbulkan partikel debu yang kemudian masuk ke dalam makanan dan bila tertelan menimbulkan gejala yang merusak organ tubuh pada sistem pencernaan. Partikulat debu dihasilkan dari pencampuran dengan karbon monoksida (CO), timbal (Pb), nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2). Jika tertelan akan menyebabkan ketidaknyamanan perut, kanker, dll. (Pope, et al., 1995)
Tinjauan tentang hal ini, sebagian besar penelitian yang menunjukkan hubungan antara polusi dan penyakit usus merupakan penelitian kasus-kontrol retrospektif atau studi kohort berbasis populasi yang tidak dapat menjelaskan perancu yang tidak terukur seperti pola makan, waktu yang dihabiskan di luar ruangan, aktivitas dan pekerjaan. Keterbatasan lain adalah fokus pada paparan polusi udara segera sebelum atau selama hasil penelitian, sedangkan paparan jangka panjang lebih mungkin berkontribusi pada penyakit kronis seperti IBD. Meskipun keterbatasan ini memerlukan interpretasi yang hati-hati terhadap temuan ini, mereka menyoroti perlunya penyelidikan lebih lanjut tentang efek polutan pada IBD, termasuk replikasi temuan epidemiologi dan penelitian pada tingkat model seluler dan hewan untuk menguji kemungkinan biologis dan menyelidiki mekanisme interaksi. (Beamish et al., 2011)
Polusi tidak hanya merugikan kesehatan, melainkan juga telah membuat kerusakan pada lingkungan. Nyatanya dari masa tahun ke depan, polusi meningkatkan banyak permasalahan iklim, suhu, dan seterusnya. Tinjauan mengenai hal ini, hujan asam adalah presipitasi basah (hujan, kabut, salju) atau kering (partikel dan gas) yang mengandung asam nitrat dan asam sulfat dalam kadar beracun. Hujan asam dapat mengasamkan air dan tanah, merusak pohon dan tanaman, dan bahkan merusak bangunan, struktur luar ruangan, dan patung. Kabut terjadi ketika partikel halus tersebar di udara dan mengurangi transparansi atmosfer.
Hal ini disebabkan oleh emisi ke udara dari pabrik industri, pembangkit listrik, mobil dan truk. Seperti disebutkan di atas, ozon terdapat di permukaan bumi dan di lapisan atas (stratosfer) atmosfer bumi. Lapisan ozon stratosfer melindungi kita dari sinar ultraviolet (UV) matahari yang berbahaya. Di sisi lain, ozon troposfer berbahaya bagi kesehatan manusia dan merupakan polutan. Sayangnya, lapisan ozon stratosfer secara bertahap terkikis oleh zat-zat yang merusaknya (seperti bahan kimia, pestisida, dan aerosol). Ketika lapisan ozon pelindung stratosfer ini menipis, sinar UV dapat mencapai bumi, menyebabkan dampak berbahaya bagi kehidupan manusia (kanker kulit) dan tanaman.
Pada tumbuhan, ozon menembus stomata, menyebabkan stomata menutup, mencegah pengangkutan CO2 dan mengurangi fotosintesis. Perubahan iklim global merupakan masalah besar yang mempengaruhi umat manusia. Kita tahu bahwa "efek rumah kaca" menjaga suhu bumi tetap stabil. Sayangnya, aktivitas buatan manusia telah melemahkan efek perlindungan suhu dengan menghasilkan gas rumah kaca dalam jumlah besar, dan pemanasan global semakin meningkat, dengan dampak berbahaya terhadap kesehatan manusia, hewan, hutan, satwa liar, pertanian, dan lingkungan perairan. (Manisalidis et al., 2020)
Tentu saja, tindakan pencegahan pencemaran udara masih bisa diselamatkan jika masyarakat menyetujuinya. Kewajiban ikut serta dalam pencegahan tidak harus selalu datang dari pemerintah atau organisasi, bisa dimulai dari diri sendiri hingga kepedulian terhadap sesama. Oleh karena itu, masyarakat harus mengambil tindakan untuk mengatasi pencemaran di setiap wilayah karena hal ini dapat mengurangi dampak langsung terhadap lingkungan alam dan kesehatan masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, pengurangan emisi CO2 dan perlindungan lingkungan dapat dilakukan dengan melakukan tindakan pengurangan polusi.
Daftar Pusaka
- Beamish, L. A., Osornio-Vargas, A. R., & Wine, E. (2011). Air Pollution: An Environmental Factor Contributing to Intestinal Disease. Journal of Crohn's and Colitis, 5(4), 279--286. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.crohns.2011.02.017
- Manisalidis, I., Agathangelos, S. E. S., & Eugenia, B. (2020). Environmental and Health Impacts of Air Pollution: A Review. Frontiers in Public Health, 8(14), 1--13. https://doi.org/10.3389/fpubh.2020.00014
- Pope, C. A., Bates, D. V., & Raizenne, M. E. (1995). Health Effects of Particulate Air Pollution: Time for Reassessment? Environmental Health Perspectives, 109(5), 472--480. https://doi.org/10.1289/ehp.95103472
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H