Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Annisa

Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi

Krisis Iklim dan Kesenjangan Sosial di COP27

Diperbarui: 8 Juni 2023   12:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.undp.org

Beberapa tahun belakangan, umat manusia sedang dihadapkan dengan berbagai macam bencana, mulai dari pandemi virus COVID-19 yang melanda seluruh dunia di tahun 2020, krisis politik dan peperangan di berbagai negara seperti Myanmar dan Ukraina, krisis ekonomi yang melanda Sri Lanka, hingga isu krisis iklim global yang semakin menjadi-jadi.

Isu krisis iklim sebenarnya telah ada sejak lama, tetapi memang, beberapa tahun belakangan ini statusnya telah mencapai tahap darurat dan aksi protes telah berkali-kali diadakan di seluruh belahan dunia. Respons yang minim dari para pemimpin politik serta kebijakan-kebijakan yang dianggap kurang memuaskanlah yang pada akhirnya mendorong para ilmuwan dunia untuk turun ke jalan melakukan aksi protes. Di bawah banner Scientist Rebellion, gerakan tersebut berhasil mengumpulkan kurang lebih 1000 ilmuwan dari 25 negara untuk melakukan aksi demo radikal dan besar-besaran di awal tahun 2022 lalu.

Aksi pembangkangan terhadap norma sipil yang dilakukan oleh para ilmuwan penting dilakukan untuk menunjukkan kepada publik mengenai seberapa serius ancaman dari krisis iklim yang sedang berlangsung. Selain itu, pembangkangan sipil para ilmuwan juga dinilai memiliki potensi untuk menembus berbagai kerumitan dan kebingungan yang ada mengenai isu yang mereka angkat. Ketika orang-orang yang memiliki keahlian dan pengetahuan bersedia untuk menyampaikan keprihatinan mereka dengan cara yang lebih tanpa kompromi, maka hal ini akan memberikan efektivitas khusus sebagai tindakan komunikatif (Capstick, et. al., 2022).

Turunnya para ilmuwan ke jalanan dalam aksi demo besar-besaran sebenarnya tidak akan terjadi jikalau para politikus dari seluruh dunia tidak enggan mendengarkan dan bertindak berdasarkan riset dan aspirasi mereka. Kurangnya kepedulian para pemimpin ini juga terlihat pada acara konferensi tahunan Conference of the Parties (COP) ke-27 yang diadakan di bawah United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Berlangsung di Kota Sharm el-Seikh, Mesir, COP27 dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Sayangnya, konferensi yang seharusnya menandakan kepedulian para pemimpin politik terhadap krisis iklim tersebut juga dibarengi dengan bukti akan hipokrisi mereka.

Berdasarkan data yang diperoleh FlightRadar24, terdapat setidaknya 36 jet pribadi yang tiba di landasan pacu Bandara Internasional Sharm el-Seikh pada permulaan KTT dari tanggal 4 hingga 6 November 2022. Parahnya lagi, kebanyakan dari jet pribadi tersebut merupakan pesawat berjenis Gulfstream G650 yang menggunakan setidaknya 1.893 liter bahan bakar per jam.

Dilansir dari BBC, Departemen Bisnis, Energi, dan Strategi Industri (BEIS) Inggris Raya menyatakan bahwa terdapat 2,5 kg karbon dioksida dipancarkan untuk setiap liter bahan bakar turbin penerbangan yang dibakar. Namun, untuk dapat menangkap gambaran mengenai dampak iklim maksimum dari sebuah penerbangan, BEIS merekomendasikan untuk mengalikan angka emisi tersebut dengan 1,9 dengan tujuan mencerminkan emisi non-karbon dioksida yang dilepaskan oleh pesawat di ketinggian. Emisi non-karbon dioksida ini, menurut para ilmuwan, merupakan salah satu faktor yang meningkatkan efek pemanasan global.

Krisis iklim merupakan masalah nyata yang mengancam seluruh penduduk bumi saat ini. Namun, kemampuan kita untuk bertahan masih ditentukan oleh hal-hal yang menyangkut status sosial maupun kelas ekonomi. Sementara orang-orang dari status sosial dan kelas ekonomi menengah dan bawah harus menanggung akibat dari krisis iklim, orang-orang dari status sosial dan kelas ekonomi atas seperti politisi dapat dengan mudah mengungsi ke tempat aman atau membangun akomodasi baru jika terdapat bencana yang muncul sebagai dampak dari krisis iklim.

Ketidakadilan tersebut dipicu oleh ketimpangan sumber daya yang dimiliki serta kebijakan diskriminatif yang dibuat oleh segelintir orang-orang kaya nan berkuasa. Sifat egois para penguasa tanpa diikuti dengan empati dan kepedulian terhadap sesamalah yang pada akhirnya akan menyebabkan penderitaan umat manusia.

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline