“CPNS, TOEFL nya harus 600, gimana nih?... ?”
“Cuma 600rbu kali, beli sertifikat TEOFL 600..”
Heu???
Walah, inilah Indonesia, semuanya jadi serba instan, syarat TOEFL 600 nya dadakan, walhasil banyak sertifikat dadakan, Cuma seharga 600rb, selesai urusan.. ^_^ mudahnya… :P
Untuk jadi seorang PNS saat ini apapun dilakukan, termasuk kenalan ma pejabat-pejabat penerimaan PNS pun jadi kepentingan sendiri, semua sarat di penuhi. Srtifikat palsu, gelar palsu, jangan-jangan niat palsu juga buat ngabdi Negara? Ups….. PNS sama dengan Mapan. Really? Benarkah? Sampe-sampe semua hal di lakukan untuk Cuma jadi seorang PNS. kenapa nih? Ada apa dengan bangsa ini? Ada apa dengan kita? Kemana ideology kita?
Sedikit menengok spion ke masa lalu, Orde lama dengan demokrasi terpimpinnya, dilanjut dengan Orde Baru dengan pragmatisme politiknya, praktis memandulkan ruh ideology. Orde Baru dengan jargon pembangunan-isme seolah-olah mengarahkan bangsa ini hanya pada pembangunan ekonomi, modernisasi, pasar bebas, hubungan pembangunan yang lebih mementingkan tujuan jangka pendek, secara ga sadar hal ini menumbuhkan elit kelas menengah yang sibuk dengan profesi, serta kompromi-kompromi pragmatis, meminimalkan perhatian kita pada aspek ideology.
Ujung-ujungnya kita ikutan kata Deng Xiao Ping “Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu yang penting dapat menangkap tikus”, artinya gak penting gimana caranya yang penting kenyang, ups… :D kayanya bukan itu maksudnya.. :D
Disisi lain, saat itu sampai sekarang Asas tunggal Pancasila yang dipaksakan penguasa melalui indoktrinasi, tafsir tunggal dan sakralisasi terbukti tidak membawa kebaikan bagi bangsa ini. Sampai lahirlah Stigma anti-Pancasila sebagai alat penghalau musuh-musuh politik orde baru secara represif telah menjadi trauma politis-ideologis yang masih membekas. Kondisi itu menjadi sangat menjadi sangat mengenaskan ketika praktek sehari-hari rezim Orde Baru sama sekali tidak mencerminkan, bahkan mengingkari jiwa pancasila, Pancasila jadi Indah diucapkan tanpa praktek. Maka badai yang di tuai adalah kemunafikan missal yang di pertontokan penguasa otoritarian-militeristik. Semoga ini dugaan yang tidak tepat ^_^ .
Kata Koentjaraningrat, budayawan Indonesia menyebutkan kita mengidap budaya “nerabas”, budaya potong kompas, budaya miopi (rabun dekat), ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, dengan sedikit usaha kalau perlu tabrak aturan. Tidak mampu melihat masa depan paling jauh, paling banter melihat dalam periode “lima Tahun”. Budaya Menanam Jagung yang tiga bulanan ketimbang menanam Jati, jalur cepat menuju sasaran, kalo perlu budaya melangkahi kepala orang. Budaya selebritis instans yang ingin popular dalam sekejap. Untung Beliung sehari.
Penyakit kronis yang kita idap adalah kurang menghargai mutu, memburu rente dalam ekonomi, politik uang dalam kekuasaan, gelar palsu dalam pendidikan, Dalam budaya Pragmatis dan hedonis itu, ideology tidak mendapat tempat. Idealism hanya tersisa di pojok-pojok ruang kuliah atau diskusi public.
So, mari kita perbaiki cara pandang, agar energy kita tidak menjadi gerak chaotic melingkar, tapi mengalir sinergis dan focus, kita butuh kehangatan ideologis, jangan hanya mengejar materi, lalu merasa hampa dalam emosi dan spirit. Secara kolektif jadilah kita bangsa yang adem ayem, miskin romantika.
Gak perlu jadi PNS kalo Cuma ingin bangkitkan bangsa ini jadi bangsa yang benar-benar besar, gak perlu duduk jadi Dewan dengan ucang kaki kalo ternyata gerakan petani, guru, buruh lebih nyata perbuatannya… tanpa seragam atau sapari, cukup jadi diri sendiri :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H