Lihat ke Halaman Asli

Aisyah Fathul Jannah

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengapa Gerakan PGRI Lemah di Indonesia?

Diperbarui: 17 Juli 2024   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gerakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sering dianggap lemah di Indonesia karena sejumlah faktor yang kompleks dan beragam. Salah satu alasan utamanya adalah kurangnya dukungan dari pemerintah, baik dalam bentuk kebijakan maupun anggaran, yang sering kali tidak memadai untuk memperkuat posisi dan perjuangan mereka. Kebijakan yang tidak selalu berpihak pada kesejahteraan guru, seperti ketidakjelasan dalam sistem penggajian dan kesejahteraan, serta kurangnya perlindungan hukum bagi guru, menjadi kendala besar. Tanpa dukungan yang kuat dari pemerintah, advokasi yang dilakukan PGRI sering kali menghadapi jalan buntu. Selain itu, PGRI juga menghadapi fragmentasi internal dengan adanya perbedaan pandangan dan kepentingan di antara anggota, yang mengakibatkan kurangnya kohesi dan koordinasi dalam menjalankan program-program organisasi. PGRI memiliki struktur yang tersebar di seluruh Indonesia dengan berbagai cabang di tingkat daerah. Namun, sering kali terjadi masalah koordinasi dan komunikasi antar cabang. Fragmentasi ini mengakibatkan gerakan yang tidak terkoordinasi dengan baik, sehingga sulit untuk menyatukan visi dan aksi dalam skala nasional. Perbedaan prioritas dan kebutuhan di tiap daerah juga menambah kompleksitas dalam menggerakkan organisasi ini secara efektif.

Keterbatasan sumber daya, baik finansial maupun manusia, juga menjadi hambatan bagi PGRI dalam mengorganisir kegiatan dan advokasi yang efektif. Keterbatasan anggaran menghambat pelaksanaan program-program yang esensial untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan guru. Selain itu, kurangnya personel yang berkompeten dan berdedikasi dalam menjalankan tugas-tugas organisasi juga mengurangi efektivitas gerakan. Pengaruh politik turut mempengaruhi gerakan PGRI, dimana kepentingan politik tertentu bisa mengaburkan fokus utama organisasi dalam memperjuangkan hak dan kesejahteraan guru. Guru dan anggota PGRI sering kali menghadapi tekanan dari pihak-pihak tertentu, seperti pemerintah daerah atau pihak sekolah, yang tidak mendukung gerakan ini. Tekanan ini bisa berupa ancaman kehilangan pekerjaan, mutasi yang tidak diinginkan, atau intimidasi lainnya. Akibatnya, banyak guru yang merasa takut atau enggan untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan PGRI.Selain itu, rendahnya kesadaran dan partisipasi dari para guru juga menghambat kekuatan gerakan ini, sebab tidak semua guru aktif atau menyadari pentingnya peran PGRI. Alasan yang mendasari kurangnya partisipasi ini bisa beragam, mulai dari ketidakpercayaan terhadap efektivitas organisasi hingga kesibukan pribadi yang menghalangi mereka untuk berkontribusi. Situasi sosial dan politik di Indonesia yang dinamis dan terkadang tidak stabil juga mempengaruhi gerakan PGRI. Perubahan kebijakan pendidikan, pergantian pejabat, dan fluktuasi kondisi ekonomi sering kali mengharuskan PGRI untuk terus beradaptasi. Namun, adaptasi ini tidak selalu mudah dan sering kali menghambat laju gerakan.

Birokrasi dan administrasi yang lamban dalam organisasi PGRI juga menghambat inisiatif dan implementasi program-program yang bertujuan memperkuat posisi guru. Di sisi lain, meskipun banyak kesulitan yang dihadapi guru, terutama dalam masalah kesejahteraan, mereka tidak diizinkan untuk berdemo karena profesi guru dianggap sebagai panggilan hati, yang membuat mereka takut akan konsekuensi dari aksi protes. Tugas menyuarakan unek-unek dan keluhan guru jatuh ke tangan PGRI, namun hal ini tidak selalu memuaskan para guru yang merasa kinerja PGRI kurang optimal.

Dalam perjalanan panjang memperjuangkan nasib para guru di seluruh Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah menjadi tonggak penting. Meskipun menghadapi berbagai tantangan yang beragam di setiap daerah, PGRI tetap gigih mengakomodasi dan memperjuangkan kepentingan guru melalui Komisi X. PGRI berupaya menjawab kebutuhan kompleks para pendidik dengan fokus pada prioritas yang paling mendesak untuk memastikan dampak positif yang signifikan bagi pendidikan di Indonesia. Meskipun terlihat seperti gerakannya lemah, hal ini lebih disebabkan oleh banyaknya polemik dan masalah yang berbeda-beda di tiap daerah, yang memerlukan waktu untuk diakomodasi dan dipecahkan.

PGRI harus didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah daerah agar keputusan yang telah diajukan dapat diimplementasikan. Namun, terkadang beberapa daerah belum bisa melaksanakan kebijakan tersebut. Walaupun banyak kesulitan yang dihadapi guru, terutama dalam masalah kesejahteraan, mereka tidak diizinkan untuk berdemo karena dianggap sebagai profesi panggilan hati. Intimidasi terhadap guru yang berdemo membuat mereka jarang melakukan aksi protes seperti para buruh. Oleh karena itu, tugas PGRI adalah menyuarakan unek-unek, keluhan, dan masukan dari para guru.

Meskipun ada kemajuan dalam upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, seperti pengangkatan sebagai ASN berdasarkan masa kerja dan pengalaman mengajar, banyak guru masih belum puas dengan kinerja pengurus PGRI dalam mengakomodir kebutuhan mereka. Namun, di balik itu semua, PGRI telah berusaha keras menyuarakan kepentingan guru, walaupun pemecahan masalah memerlukan waktu.

Dorongan keras dari PGRI membawa perubahan signifikan bagi nasib guru honorer di Indonesia, meskipun tidak selalu terlihat langsung. Upaya gigih PGRI dan dukungan dari anggota DPR akhirnya berhasil menyuarakan aspirasi guru honorer, yang kini dapat diangkat sebagai ASN melalui tes dari pemerintah.

PGRI juga diharapkan menjadi inisiator bagi pengembangan ilmu pengetahuan pendidikan yang otonom dan inovatif, membantu pengembangan profesional guru dalam menghadapi era globalisasi. Profesi guru yang berhak dihargai sebagai profesi terhormat, dengan kewajiban dan imbalan yang sesuai, menjadi fokus perjuangan PGRI. Organisasi ini diharapkan dapat menjadi dinamisator dan lokomotif dalam meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru di masa mendatang.

Namun demikian, PGRI sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan kesejahteraan guru, seperti mendorong pengangkatan guru honorer menjadi ASN dan menyuarakan aspirasi di DPR. Meski sering kali hasilnya tidak terlihat langsung dan membutuhkan waktu untuk terealisasi, upaya gigih PGRI telah membawa perubahan signifikan bagi nasib guru honorer di Indonesia. Tantangan dan hambatan yang kompleks ini membuat gerakan PGRI terlihat lemah, meskipun di balik layar mereka terus berusaha keras untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraan para Guru di Seluruh Indonesia. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline