Dalam beberapa tahun terakhir, isu childfree telah menjadi perdebatan kontroversial, terutama di kalangan Generasi Z dan milenial di Indonesia. Dengan kebebasan berekspresi dan paparan arus modernisasi membuat mereka berani mengungkapkan pandangan berbeda tentang peran anak dalam kehidupan. Berbagai platform media sosial, seperti TikTok, Instagram, dan Twitter, menjadi arena bagi berbagai opini yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Isu childfree ini menjadi semakin menarik , mengingat Indonesia adalah negara konservatif yang membuat perdebatan ini semakin memanas.
Childfree, dikutip dari Cambridge Dictionary, diartikan sebagai kondisi di mana pasangan memilih untuk tidak memiliki anak dalam kehidupan pernikahan. Isu kontroversial mulai berkembang di akhir abad ke-20. Fenomena ini hadir seiring dengan kampanye politic of body atau politik tubuh yang beranggapan bahwa tubuh perempuan adalah miliknya. Tren ini tentunya mendukung akan hak progerative perempuan dalam hal mengandung atau mempunyai keturunan, sehingga childfree digolongkan dalam pilihan yang bersifat involuntary.
Dulu, isu ini sangat dibenci, namun seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai childfree, topik ini perlahan menjadi lebih terbuka untuk dibahas dan diterima oleh masyarakat. Pilihan hidup childfree pun kian meluas di negara-negara di luar Eropa dan Amerika. Meskipun begitu, apakah perempuan di Indonesia memiliki hak untuk memilih di tengah budaya konservatif?
Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara pro natalis yang memiliki tingkat kelahiran (total fertility rate) sebesar 2.26 dan sebesar 93% masyarakat percaya bahwa keberadaan anak dalam pernikahan adalah hal yang sangat vital dan sangat dinantikan kehadirannya. Oleh karena itu, sebagai negara yang pro natalis anak mempunyai arti penting dalam masyarakat Indonesia karena dapat memberikan manfaat terlebih dalam sosial, ekonomi, budaya, dan agama.
Dengan angka total fertilitas yang mendekati sempurna, kita harus berangkat dari kebudayaan tradisional yang mengharuskan perempuan untuk menjadi seorang istri dan ibu. Stigma masyarakat bahwa perempuan akan menjadi wanita seutuhnya hanya jika melahirkan anak memperkuat pandangan ini. Budaya patriarki secara tidak langsung menjadikan perempuan sebagai objek reproduksi dan menempatkan tanggung jawab keturunan sebagai beban perempuan semata.
Namun, pada situasi kontemporer ini, arus kepentingan wanita telah berubah. Pemikiran perempuan saat ini semakin terbuka, meninggalkan tradisi yang menekan kebebasan mereka. Banyak wanita, baik yang sudah menikah maupun yang belum, kini gencar memperjuangkan hak-hak mereka sebagai individu yang setara dengan laki-laki. Tentunya, pandangan kontemporer ini tidak terlepas dari pro-kontra selama negara ini masih erat dengan paham konservatif.
Dalam paradigma kontra childfree, kepentingan perempuan dianggap tidak relevan dengan adat istiadat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia. Sorotan dan kecaman kejam sering ditujukan kepada perempuan yang memilih untuk childfree, seperti yang dialami influencer Gita Savitri, yang dipersepsikan harus menjadi seorang ibu.
Paradigma kontra ini mencerminkan nilai budaya, agama, dan lingkungan sosial. Pertama, eksistensi anak dalam keluarga dinilai berbeda oleh masyarakat, terutama di pedesaan, di mana keberadaan anak dianggap berpengaruh besar terhadap kebahagiaan orang tua (Ruslan, 2017). Kedua, dalam konteks budaya, masyarakat Sunda percaya bahwa kehadiran anak memberikan kesenangan dalam hidup dan kebahagiaan di masa tua. Sementara di masyarakat Jawa, harapan orang tua terhadap anak lebih bersifat fungsional, mengaitkan anak dengan keuntungan sosial dan ekonomi (Darroch, Meyer, & Singarimbun, 1981). Dalam aspek agama, anak dimaknai sebagai pemberian yang akan membawa kebahagiaan dan rezeki bagi orang tuanya. Tentunya dilihat dari ungkapan 'banyak anak, banyak rezeki,' yang menjadi idiom pemaknaan anak dalam agama.
Di sisi lain, pandangan pro terhadap isu childfree memberikan sejumlah argumen yang mendukung hak perempuan untuk memilih yaitu 1) childfree adalah hak setiap individu dan keputusan pribadi yang harus dihormati. 2) Banyak orang tua yang belum siap saat memiliki anak, baik dari segi pendidikan, finansial, maupun emosional, yang dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam keluarga. 3) Memiliki anak bukanlah sebuah kewajiban dan tidak semua orang mampu atau ingin memiliki anak. 4) banyak anak yang menjadi sasaran kemarahan atau kekecewaan orang tua. 5) Sebagian orang tua menganggap anak adalah bentuk investasi jangka panjang apabila anak sudah dewasa dan bisa bekerja bisa turut membiayai kebutuhan rumah tangga, dan 6) anak berhak memiliki orang tua yang siap secara mental dan emosional (Jenuri et. al, 2021).
Selain itu pendapat aktris Cinta Laura yang mengidentifikasi dirinya sebagai pro childfree mengungkapkan alasan utamanya karena overpopulasi dan menganggap bumi ini sudah sangat penuh dengan manusia sehingga untuk menstabilkan jumlah populasi, adopsi bisa menjadi pilihan untuk tidak 'menambah' beban bumi.
Dalam konteks ini, teori psikologi sosial, seperti Teori Identitas Sosial (Social Identity Theory) yang dikemukakan oleh Henri Tajfel, dapat menjelaskan pergeseran pandangan perempuan tentang hak progerative tersebut. Teori ini menjelaskan bagaimana individu membentuk identitas mereka berdasarkan afiliasi kelompok sosial dan norma yang berlaku. Dalam hal ini, perempuan yang memilih untuk childfree mungkin menghadapi tekanan dari kelompok sosial yang memiliki norma tradisional mengenai peran gender dan keluarga. Namun, seiring dengan meningkatnya dukungan untuk pilihan childfree di kalangan generasi muda, perempuan juga dapat menemukan identitas baru yang lebih sejalan dengan nilai-nilai kebebasan pribadi.