Lihat ke Halaman Asli

Sweet Memoar Hayati

Diperbarui: 20 Juni 2015   02:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Revisi, September 2014

Bismillahirrahmanirrahim

Sweet Memoar Hayati

            Aku membuka lemari buku yang ada di sudut perpustakaan pribadiku. Lemari yang penuh dengan buku buku yang aku koleksi dari dulu. Pandanganku mengarah pada buku bersampul kuning tua keemasan dan hampir saja penuh debu. Buku ini penuh dengan cacatan pribadiku masa SMA. Tiada halaman yang kosong akan ceritaku dalam buku ini. Aku buka lembar demi lembarannya, dan... ada sesuatu yang jatuh dari halaman tengah buku ini.

            Tanganku segera meraih sebuah foto lama yang terjatuh ke lantai tepat di depanku. Foto perempuan yang masih belia beerjilbab warna abu abu, lengkapnya dengan senyum di wajahnya yang ranum. “Hayatii...” gumamku berbisik pada foto yang tersenyum tanpa respon padaku. Kupandangi wajahnya yang ranum itu. Kusampaikan segala rindu yang tersisa padanya. Aku menyadari sungguh tak ada kesan yang “wah” pada rupanya. Tapi diriku mengaku damai bila memandangnya.

            Namaku Hamka. Hayati adalah bagian masa lalu yang menyisakan kesan mendalam dalam hidupku. Untukmu yang membaca baiklah, akan aku uraikan hal hal terindah yang masih hangat dalam ingatanku tentang Hayati. Tenang saja, Syifa istriku yang cantik itu tak akan keberatan karena dia sudah tahu tentang itu. Syifa istriku, senang melihatmu yang tak pernah cemberut meski cemburu ketika mendengar ceritaku berulang kali.

# # #

            Gadis itu bernama Hayati. Teman teman di sekolah biasa memanggilnya Aya’. Tetapi aku lebih suka memanggilnya “Ay” saja. Ay (Ai) adalah cinta. Ya. Aku mencintai Ay. Cinta sebagai teman, sebagai sahabat, dan saudara.

            Aku senang melihat Ay tersenyum. Senyumnya manis (menurutku). Ay adalah gadis yang mahal senyum. Menemukan senyum seorang Ay adalah keberuntungan yang langkah bagiku. Dan yang paling mengerikan adalah ketika Ay marah padaku, aku bahkan tak menemukan keelokan yang ada pada wajahnya yang ranum.

            “Hamka, Hamkaa...” seorang teman memanggilku. Dia Anwar teman kelasku, tukang pos langganan Ay jika berkirim surat padaku.

            “Bertemu dimana dengan Ay” tanyaku padanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline