Lihat ke Halaman Asli

Ruang Publik Kota Pengaruhi Perilaku Sosial Masyarakat

Diperbarui: 25 September 2015   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Open Spaces atau ruang terbuka yang seharusnya dimanfaatkan untuk ruang publik baik hijau ataupun non-hijau, sudah cukup lama menjadi lahan strategis bagi masyarakat untuk dijadikan lahan pembangunan. Alih fungsi lahan seperti ini sudah tidak dapat dihindari lagi karena tuntutan kebutuhan. Ya, kalau tidak dibangun di sini mau tinggal dimana, mau jualan dimana. Ini cara kami menyambung hidup. Kasus lain ketika terjadi penertiban oleh pemerintah, anehnya masyarakat ajukan protes karena mereka telah memiliki surat tanah resmi. Mereka sudah dari turun-temurun tinggal di sana. Lalu, siapa yang patut disalahkan? Bahkan mereka memiliki surat tanah resmi. Tentu, hal-hal semacam ini sudah seperti sarapan pagi bagi pemerintah kita.

Namun, melihat dari sisi lain kurangnya ruang publik kota mengakibatkan perubahan sosial dikalangan masyarakat. Tempat bercengkrama sesama teman berubah menjadi ke tempat makan atau restoran. Kasus ini sudah barang tentu mengeluarkan dana khusus. Nilai saat bertemu dan bercengkrama dengan sesama teman mengintegral menjadi nilai ekonomi dari penghasilan. Kurangnya ruang publik kota yang seharusnya mampu memberikan layanan tanpa pungut biaya untuk ber-refreshing sepulang bekerja dengan teman, melepas penat bersama suami, isteri ataupun anak membuat masyarakat mencari alternatif lain untuk melepas penat. Kenyamanan untuk bersantai tanpa mengeluarkan biaya menjadi sesutu yang langka bagi masyarakat perkotaan karena kurangnya space yang menawarkan kenyamanan untuk berlari pagi atau sekedar menghirup udara segar saat tugas kerja tak kunjung selesai. Nilai-nilai interaksi sosial semacam ini berubah menjadi perhitungan ekonomis yang ujung-ujungnya membuat masyarakat berpikir dua kali untuk sekedar bersenda gurau bersama teman sejawad. Sehingga, lama kelamaan masyarakat menjadi kurang interaksi sosial karena semuanya berkaitan dengan keuangan.

Menurut Dirjen Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum dalam pidatonya saat sambutan acara Penyampaian Penghargaan Pekerjaan Umum Bidang Penataan Ruang di Semarang tanggal 2 Mei 2006 bahwa “tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan.” Hiruk pikuk dan sibuknya kehidupan perkotaan tentu akan memberikan nilai tawar untuk stress pun semakin tinggi dibanding hidup di desa. Maka, sudah bisa dipastikan stress releaser bagi masyarakat kota menjadi kebutuhan primer. Tidak jarang kita dengar masyarakat usia remaja di perkotaan sudah minum minuman keras, mencandu narkoba, atau bahkan mengakhiri hidupnya sendiri. Mungkin saja ini karena tingkat kejenuhan dan stress yang berlebihan, bukan?

Walaupun hidup di perkotaan tujuannya untuk mencari pekerjaan atau pendidikan yang lebih baik, mungkin kita sesaat lupa bahwa kita adalah makhluk sosial. Butuh orang lain untuk berinteraksi, butuh tempat yang nyaman untuk mengusir pikiran yang semberaut. Jangankan itu, bagi seorang mahasiswa yang stress karena tugas kuliah kerap sekali kebingungan kemana ya, tempat yang bagus untuk menghilangkan stress? Sehingga pada akhirnya mereka menjatuhkan pilihan pergi refreshing ke gunung, pantai atau hanya sekedar menghabiskan uang ke tempat makan di tengah-tengah tugas yang menumpuk dan jadwal kuliah yang padat. Bukan kah hal semacam ini seharusnya bisa terfasilitasi oleh ruang publik perkotaan yang menawarkan kenyamanan?

Melihat pengaruh sosial yang cukup tinggi diakibatkan minimnya ruang publik perkotaan, hendaknya menjadi perhatian lebih oleh pemerintah. Bukan sekedar ruang publik perkotaan tempat rehat atau duduk saja oleh masyarakat perkotaan, tapi ruang publik perkotaan juga sebagai jantung kota. Memperbanyak ruang publik hijau di perkotaan tentu akan mengurangi polusi udara setidaknya memperbanyak tempat berteduh nan asri oleh masyarakat kota. Long spaces merupakan kebutuhan utama bagi ruang publik perkotaan. Jika memang ingin jantung kota yang sehat, bugar dan menawarkan kesejukan tentu butuh lahan yang cukup.

Kurangnya optimalisasi ruang publik kota diakibatkan oleh kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia (www.penataanruang.net). Selain itu, lemahnya kelembagaan dan SDM (Sumber Daya Manusia), kurangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan ruang publik kota juga menjadi kendala utama dalam perwujudannya. Jika terus mengandalkan kekuatan pemerintah tanpa melibatkan pihak ke dua seperti lembaga swasta tentu juga akan sulit untuk terwujud karena tidak bisa dipungkiri, keterlibatan pihak swasta dalam segala aspek menunjukkan pengaruh yang cukup terlihat.

Oleh karena itu, alangkah baiknya pemerintah bersama-sama dengan lembaga swasta terutama masyarakat menyediakan Long Spaces untuk ruang publik kota, yang nantinya juga untuk kebaikan kita semua. Mari kita sehatkan jantung kota untuk kesehatan dan kenyamanan bersama.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline