Lihat ke Halaman Asli

Ai Sumartini Dewi

Humanis, pekerja keras, dan ulet

Tangisan Anita

Diperbarui: 9 Juli 2020   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari masih pagi ketika aku datang ke sekolah. Udara dingin terasa menggigit kulit. Mentari tersenyum keluar dari peraduannya. Kulihat baru satu dua anak yang datang. Hari itu aku meminta mereka datang ke sekolah untuk pemberkasan daftar ulang ke SMA/SMK peserta didik baru tahap 1. Beberapa orang siswa yang lolos masuk ken SMA/SMK Negeri tahap 1 yaitu jalur prestasi akademik, prestasi kejuaraan, perpindahan orang tua, dan EKTM. 

Tiba pukul 08.00 aku mengumpulkan mereka di satu ruangan. Posisi mereka sesuai anjuran pemerintah yaitu harus phisical distanching atau atur jarak . Aku panggil nama mereka satu-satu. Saat kupanggil nama Anita tidak ada yang menyahut. Aku panggil lagi masih tidak ada jawaban. Aku tanyakan ke temannya katanya dia belum datang. 

Aku mulai khawatir karena waktu sudah menunjukkan pukul 08.30. Dia harus melaksanakan daftar ulang sesi pertama yaitu pukul 08.00 s.d 09.00. Aku meminta teman-temannya menghubungi dia dan katanya hpnya tidak aktif. Aku penasaran lalu memanggilnya. HPnya tetap tidak bisa dibubungi. Aku mulai gelisah karena dia masih harus mempersiapkan berkasnya. Dan jarak dari sekolah ke sekolah tujuan lumayan jauh. Aku sempat bingung kemana dia.

Tepat pukul 09.00 dengan napas terengah-engah dia datang. Saat kutanya kenapa dia terlambat, dia bukannya menjawab. Air matanya mengalir menganak sungai. Aku suruh dia duduk dan meminta temannya mengambil air putih. Setelah dia nampak tenang aku bertanya.

" Kenapa nak sampai telat?" Tanyaku sambil menatap matanya. Dia tidak langsung menjawab. Terlihat ada beban di dadanya. Dia menggelengkan kepalanya.

" Nggak apa-apa Bu." Jawabnya sambil mengeluarkan berkas yang dia bawa di tasnya. 

" Tapi kenapa telat? " Tanyaku sambil memberikan formulir yang harus dia isi.

" Nggak punya ongkos Bu." Jawabnya sambil menatapku.

" Terus barusan naik apa? " Tanyaku.

" Jalan kaki Bu." Ujarnya sambil matanya berkaca-kaca. 

Aku nggak bisa berucap lagi. Terbayang dia tadi berjalan kaki dari rumahnya yang lumayan jauh. Kaki kecilnya dengan peluh mengucur di pelipisnya. Tanpa berkata-kata aku langsung menyuruhnya untuk mengisi formulir . Kusuruh dia mengisinya dengan teliti  dan memfoto copy rapot serta beli materai. Dia menatapku. Aku paham dia membutuhkan sesuatu, maka aku berikan sedikit uang untuk membayar ke tukang foto copy. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline