Di era perekonomian global seperti saat ini, interaksi ekonomi antar berbagai negara merupakan salah satu aspek yang menjadi faktor dari perkembangan ekonomi suatu negara yang semakin terbuka. Dengan semakin pesat perkembangan di bidang teknologi informasi, komunikasi dan transportasi, dan juga kebijakan perdagangan menjadikan semakin pesatnya keterbukaan ekonomi suatu negara.
Semakin tinggi ketergantungan antarnegara, maka akan semakin terbuka perekonomian negara tersebut. Sehingga menimbulkan dampak yaitu semakin tinggi transaksi perdagangan antarnegara. Suatu negara tidak mampu memenuhi kebutuhan akan barang maupun jasa sendiri, sehingga dapat melakukan pembelian (impor) dari negara lain. Suatu negara juga dapat menjual (ekspor) barang dan jasa yang ia produksi kepada negara lain yang memerlukan. Selain itu, kegiatan perdagangan internasional juga diikuti oleh perkembangan sektor keuangan internasional.
Terdapat konsekuensi dalam penerapan perekonomian terbuka tersebut yakni pada perencanaan dan pelaksanaan kebijakan ekonomi makro, terutama kebijakan moneter. Semakin besar transaksi perdagangan dan keuangan internasional yang dilakukan suatu negara, maka semakin besar pula foreign capital flows (aliran dana luar negeri). Sehingga dapat mempengaruhi jumlah uang yang beredar.
Apabila terjadi capital outflow, maka akan terjadi pengurangan jumlah uang yang beredar begitu sebaliknya apabila terjadi capital inflow, maka akan semakin tinggi jumlah uang yang beredar. Maka dari itu, kebijakan moneter perlu diterapkan guna mengatur jumlah uang yang beredar agar sesuai dengan kebutuhan perekonomian suatu negara.
Bank sentral melakukan kontraksi moneter guna mengurangi jumlah uang yang beredar apabila terjadi aliran dana luar negeri yang tinggi. Begitu juga sebaliknya, bank sentral melakukan ekspansi moneter guna meningkatkan jumlah uang yang beredar apabila terjadi aliran dana luar negeri keluar yang tinggi. Dengan melakukan kontraksi maupun ekspansi oleh bank sentral dapat menimbulkan peningkatan atau penurunan suku bunga dalam negeri. Dan perubahan tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan interest rate differential sehingga mendorong capital outflow maupun inflow.
Adanya penyebaran virus yang berasal dari China yaitu COVID-19, menyebabkan masalah ketidakseimbangan internal maupun eksternal makroekonomi, yaitu inflasi, pengangguran dan deficit neraca pembayaran (perdagangan). Indonesia yang melakukan impor bahan baku sekitar 70%-80%, menjadi terganggu akibat adanya virus tersebut. Sedangkan mitra dagang Indonesia terbesar adalah China. Terjadinya penurunan impor menyebabkan kegiatan ekspor Indonesia semakin menurun.
Beberapa ekonom memprediksi neraca perdagangan Indonesia akan mengalami deficit. Terutama pada neraca perdagangan nonmigas antara Indonesia dengan China yang terjadi pada bulan Februari 2020. Penurunan tersebut baik dari sisi impor maupun ekspor.
BPS mencatat bahwa realisasi impor nonmigas menurun 49,63% dari bulan sebelumnya. Sedangkan secara year on year, penurunan impor mencapapai besaran 35,27%. Pada ekspor nonmigas, mengalami penurunan mencapai 11,63% pada bulan Februari 2020. Sedangkan secara year on year, mengalami peningkatan yaitu 21,49% dari bulan Februari 2019. Hal tersebut disebabkan leh adanya perbadaan harga pada komoditas di pasar dunia.
Selain dengan China, Indonesia juga merasakan hal yang sama dengan mitra dagang negara lainnya. Akan tetapi penurunannya tidak sebesar China.
Dengan upaya meningkatkan ekspor dalam mengatasi deficit nerasa perdagangan sekaligus sebagai respon pada depresisasi nilai tukar rupiah bukan perkara yang mudah karena dapat menimbulkan kontraksi pada perekonomian global.
Bank Indonesia dalam hal ini terus memperkuat kebijakannya yaitu dengan menstabilkan nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia menyatakan kebutuhan valuta asing selain melalui spot juga dapat melalui transaksi DNDF (Domestic Non-Deliverable Forward) maupun dengan SBN.