Lihat ke Halaman Asli

Galeri Cerita Ani Wijaya

The taste of arts and write

Gerhana

Diperbarui: 19 Februari 2016   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Zaman dahulu kala, tersebutlah seorang putri. Berparas jelita, berbudi luhur. Dan seorang ksatria gagah berani. Mereka saling mencintai. Namun, diam-diam ada yang ingin memisahkan mereka. Sang Angkara. Maka, jiwa Sang Putri menjadi tawanan dalam rembulan. Dan Sang Ksatria, terbelenggu dalam sengat api mentari.

Sang Bulan temaram, pucat pasi. Dan Surya memendarkan terik. Rupanya Sang Semesta merasa iba, maka ia membuat keadaan dimana Putri bisa bertemu dengan Ksatria. Bulan dan Matahari berada dalam garis yang sama. Gerhana.

Untuk beberapa saat mereka bisa saling melepaskan rindu. Meskipun hanya saling memandang dari kejauhan. Tak dapat lebih dari tujuh menit empat puluh detik. Karena pertemuan mereka mengakibatkan penderitaan bagi makhluk bumi.

Mereka menahan diri, berpasrah pada nasib yang mengharuskan kembali berpisah. Dari jarak yang sangat jauh masing-masing memperlihatkan betapa satu sama lain saling mencintai. Dan berterimakasih kepada alam semesta dengan memberikan cahaya indah bulan purnama. Memancarkan sinar lembut mentari pagi, memberikan kehidupan kepada seluruh makhluk bumi.

Sang Angkara semakin murka. Ternyata apa yang ia lakukan tak membuat Sang Putri berhenti mencintai Ksatria. Apalagi menyerah dan takluk dalam genggaman, seperti harapannya.

Untuk membalas dendam, Sang Angkara menimpakan kutukan pada manusia bumi. Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan. Saling mencintai seperti Putri mencintai Ksatria, saling melindungi seperti Ksatria melindungi Putri. Tak akan pernah dapat bersatu, bahkan bertemu meskipun pada saat gerhana matahari.

Kisah ini diceritakan oleh nenekku selama bertahun-tahun. Nenek mendapatkan kisah ini dari neneknya. Begitu seterusnya. Bagiku ini cerita yang indah meskipun terdengar tragis. Aku selalu bertanya, bagaimana cara untuk menghindar dari kutukan itu. Nenek tersenyum, lalu berkata bahwa kita tidak akan pernah tahu. Karena itu adalah resiko yang harus ditempuh oleh seseorang yang memilih untuk jatuh cinta.

Usiaku menginjak dua puluh empat tahun. Selama ini aku terkesan sangat berhati-hati untuk jatuh cinta. Mungkin pengaruh dari kisah putri dan ksatria, yang telah tertanam kuat dalam ingatanku. Aku menerima perjodohan yang diatur oleh orang tuaku, yakin bahwa pilihan mereka pasti yang terbaik untukku. Pernikahan kami dilaksanakan dalam waktu tiga bulan ke depan.

Sahabatku kerapkali bertanya. Apakah aku mencintai calon suamiku? Aku tersenyum, lalu menjawab bahwa cinta akan datang di kemudian hari.

“Bagaimana bila ternyata kamu jatuh cinta, pada pria lain. Sebelum kamu menikah? Luna” tanya Rekha, sahabatku sejak kecil.

Aku tertawa kecil, aku tak akan membuat diriku jatuh cinta pada pria manapun. Tapi, cinta datang bukan karena kita pinta. Ia akan menyelusup diam-diam, merangkak perlahan-lahan, merayapi pembuluh darah, hati dan jantung. Sampai akhirnya kita tersadar, setelah ia merantai jiwa kita erat. Rekha bagaikan pujangga yang melantunkan syair, tapi aku tetap bergeming.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline