Lihat ke Halaman Asli

Akankah Aku Menang?

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah harus dari mana ku mulai ini ...

Hari itu tanggal 5 Agustus, saat jarum jam menunjukkan bahwa hari tak lagi terang disitulah aku memulai perkenalanku denganmu. Perkenalan yang kukira singkat dan sementara itu ternyata berlanjut hingga kini. Bahkan hadirmu perlahan mengubah kelabu dihatiku menjadi cerah bagaikan mejikuhibiniu yang muncul setelah hujan.

Detikmenit yang perlahan berubah menjadi hari hingga bulan pun kulalui dengan bahagia. Aku bahagia mengenalmu, aku bahagia mengagumimu. Memang awalnya tak pantas bahkan terlalu cepat jika ku menaruh rasa padamu, namun semua terasa wajar ketika ku melihat usaha konyol yang ternyata juga kau tujukan padaku. Aku bahagia bersamamu, Mas!

Hadirmu menyembuhkan luka kecewaku beberapa saat yang lalu, dan mungkin hadirku juga membuatmu lupa akan sakitmu pada masalalumu. Sederhana namun bermakna, itu hal yang selalu kurasakan setiap kali usai menghabiskan waktu bersamamu. Tak perlu menghabiskan berjam-jam waktu, cukup duduk berdua sambil bicara menikmati senja saja aku sudah bahagia meski itu hanya beberapa menit. Terkadang secara spontan kau datang tanpa kabar dan itu membuatku terpekik senang. Mungkin benar kata salah satu dosenku, bahwa laki-laki terkadang tak perlu alasan untuk bertemu atau menemui pasangannya, karena ia malu untuk mengungkapkan. Mungkin itu sedang terjadi pada dirimu. Aku mungkin tak perlu menerima alasan logis dari mulutmu, yang jelas aku bahagia karena aku berhasil menempati singgasana indah hatimu secara perlahan.

Tak selamanya waktu berjalan lurus, dan kali ini aku harus merasakan ada ditikungan tertajam dari waktu. Harusnya aku belajar akan sebuah kalimat, bahwa jika ada suka maka harus siap dengan datangnya duka. Aku lupa akan itu karena aku terlalu terlena oleh bahagia bersamamu. Hingga saat yang tak kuinginkan tiba, kau mendadak berubah dan itu terjadi karena masalalumu kembali hadir. Hey! Ada apa ini? Sedang dalam syuting iklan parodi kah aku? Berulang kali ku cubit pipiku dan rasanya sakit. Aku tak sedang bermimpi, aku sedang berhadapan dengan kenyataan pahit. Kenyataan dimana hatiku dan bahagiaku menjadi taruhannya. Rasa bimbang dalam hatimu membuat hati dan bahagiaku tak sengaja dipertaruhkan. Masalalumu hadir dengan alasan yang serba terlambat, mengapa tak ia ungkapkan saat kau belum bersamaku? Mengapa baru ini ia hadir, saat kau sedang bahagia bersamaku, menemaniku? Kemana sosoknya kala keringatmu bercucuran mengkhawatirkannya? Kemana dirinya saat kau benar-benar berjuang untuk mendapatkan segala tentangnya? Bahkan untuk mendapatkan kabarnya pun kala itu kau kesusahan. Namun mengapa kali ini ia hadir lagi? Menampakkan sosoknya dari balik tirai tak berkasih.

Aku hanya takut rapuh. Aku takut bahwa aku akan kecewa tuk yang kedua kali. Ingin rasanya ku berteriak marah, namun pada siapa? Pada siapa aku meluapkan segalanya? Ini salah siapa? Salahku? Salahmu? Atau salah masalalumu? Entahlah .. mendadak akal sehatku tak dapat berpikir normal, aku terlalu takut kehilanganmu, iya kehilanganmu Mas!

Aku belum siap jika harus merasakan luka itu lagi. Aku belum mampu tuk jalani hari indahku jika itu tanpamu. Mengapa ini terasa terlambat dan serba terlambat? Aku terlambat untuk belajar agar selalu kuat. Dirimu terlambat jika ingin pergi meninnggalkanku dengan sejuta rasa sayang atau mungkin bimbangmu. Sedang masalalumu sangat dan sungguh terlambat menyadari bahwa dia masih menyayangimu, dan kau masih sangat berarti untuknya.

Mungkinkah ini salah waktu? Mungkinkah ini kekejaman waktu bagi diriku? Entah, bagiku ini bukan saatnya menyalahkan dan mencari siapa yang benar. Bukan saatnya aku untuk memaksamu untuk tetap menemaniku. Bukan saatnya pula untuk mengusir masalalumu yang datang tanpa permisi itu. Ini saatnya aku untuk berdiri, menata hati jika suatu hari dirimu memang harus pergi. Namun jika Tuhan masih mengijinkan kau tuk bersamaku, dalam hati ku berjanji tak akan sedikitpun ku gunakan waktu untuk melukaimu bahkan menorehkan bimbang dihatimu. Itulah aku dan hatiku, yang hingga kini masih setia menanti akan segala yang menjadi keputusanmu, yang selalu siap mendengar jawaban atas pertaruhan hati dan bahagia yang bergejolak tak menentu. Entah bagaimana nasib hati dan bahagia di hari esokku, akan kah aku menang? Atau justru malah terbunuh ..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline