Berfoto, menjadi suatu kebiasaan orang-orang Generasi Millenial dan Gen-Z. Sejarah foto dikembangkan oleh Ibn Al- Haytham, ilmuwan yang berasal dari Irak. Yang berawal dari sebatas menangkap dan juga mengawetkan cahaya yang terbatas, sekarang foto menjadi suatu artefak sosial yang harus diperbarui sepanjang waktu.
Pada suatu masa ada seorang yang bernama Theodore Rozack, beliau meramal bahwa suatu saat masyarakat akan memasuki zaman di mana serba komputer (computerized society).
Dulu, entah benar atau tidak, ukuran pigura foto di dinding semakin besar menandakan bagusnya kualitas hidup dan capaian mereka dan itu akan membawa dampak baik kepada keturunan berikutnya. Lantas Bagaimana nasib mereka yang tidak sempat memastikan raut wajahnya?
Berdasarkan uraian portal Oxford Dictionary, selfie merupakan foto yang ditangkap atau diambil oleh orang tersebut yang ada di dalam foto itu. Lebih tepatnya, biasanya, foto selfie ditangkap melalui smartphone atau webcam.
Tidak semua selfie dapat diterima, tetapi memposting foto pun juga bukan merupakan tindakan yang menjadi suatu hal penting.
Kamera merupakan suatu alat yang digunakan untuk memotret ataupun melakukan selfie yang memiliki fungsi umum yaitu sebagai bukti pengalaman seseorang.
Tidak semua pekerjaan memfoto itu suatu hal yang menyenangkan, tetapi ada satu jurnalis yang mengalami depresi hebat hingga akhirnya melakukan bunuh diri, jurnalis tersebut bernama Johannesburg Star, Kevin Carter.
Suatu tanggapan foto ketika perang kemerdekaan menjadi bukti bahwa kita yakin terhadap nasionalisme. Jika pada saat proklamasi dibacakan oleh Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.56 Jakarta Pusat, fotografer Frans Mendur dan Alex Mendur tidak hadir, maka ada sebagian dari kita yang tidak yakin bahwa bendara Indonesia telah berkibar.
Selain itu, dengan adanya foto, seseorang bisa mengabadikan suatu luapan emosi atlet saat mencapai kemenangan, dan dalam beberapa detik saja foto tersebut dapat dikirim ke semua penjuru media sosial. Serta dengan adanya foto, para politikus dapat mempublikasi iklan politik mereka dengan mudah di media massa yang kemudian dikembangkan lagi melalui media digital semenarik mungkin agar terlihat berwibawa.
Di dalam foto, menurut Stuart Hall setiap pembaca memaknakan foto tersebut dengan berbeda-beda makna atau bahkan abstrak.
Jadi, peradaban kamera dapat membantu mengumpulkan realita dalam suatu ruang, seperti pendapat Yousuf Karsh. Tidak semua manusia perlu menampilkan diri sebenarnya di depan kamera. Hingga akhirnya manusia akan tertipu Oleh foto yang ada di dalam kamera karena mereka hanyut dalam pikiran bahwa kehidupan tidak sebagus yang mereka bayangkan.